Pasar Papringan Temanggung: Pasar Antimainstream Berkonsep "Back to Nature"
November 06, 2017Apa sih yang ada di benak kalian saat mendengar kata pasar? Ramai, sumpek, becek, pengap, lalu apa lagi? Jika pergi ke pasar rasanya ingin segera menuntaskan aktivitas belanja lalu pulang. Benar begitu? Namun apa jadinya kalau ada sebuah pasar di gelar di tengah kebun bambu yang sangat rindang? Memangnya ada? Tentu saja ada. Mari kita sebut Pasar Papringan. Pasar Papringan ini merupakan sebuah usaha konservasi alam sekaligus melestarikan dan mengangkat kearifan lokal. Tidak hanya itu, Pasar Papringan juga diharapkan bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat sekitar. Awalnya ide ini datang dari seorang ayah yang memiliki dua orang putri. Beliau adalah bapak Singgih S. Kartono. Beliau merupakan lulusan ITB jurusan Desain Produk. Pasti banyak yang sudah mengenal beliau. Beberapa karya beliau yang paling terkenal diantaranya adalah radio dari kayu dan juga sepeda dari bambu. Saya pernah membaca di sebuah artikel, bahwa produk radio kayu yang beliau ciptakan merupakan proyek tugas akhir. Namun beliau tidak ingin sekadar menjadi proyek tugas akhir. Akhirnya radio kayu diproduksi dan dipasarkan. Bahkan sudah di ekspor ke luar negeri. Perusahan radio kayu miliknya bernama Magno. Kemudian beberapa tahun setelahnya, pak Singgih membuat sepeda dari bambu yang diberi nama Sepedagi. Beliau bertempat tinggal di sebuah desa yang daerahnya di penuhi dengan pepohonan bambu. Untuk itu, beliau ingin memanfaatkan apa yang ada. Terlebih, menurut beberapa penelitian, struktur bambu sangat kuat tapi ringan. Tak sampai disitu saja. Pak Singgih benar benar ingin membantu warga sekitar tempat tinggalnya hidup lebih sejahtera dengan memaksimalkan apa yang ada di desa tempat mereka tinggal. Akhirnya munculah gagasan pasar papringan.
Awalnya Pasar Papringan digelar di Dusun Kelingan, Desa Caruban, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung. Pak Singgih mengajak warga untuk menjadikan hutan bambu sebagai sebuah pasar yang diadakan setiap 35 hari sekali. Pasar ini hanya digelar tiap hari minggu wage. Ada banyak makanan maupun minuman yang diolah warga dan di jajakan disana. Waktu itu baru pertama buka namun antusiasme masyarakat sangat tinggi meski sosialisasinya hanya melalui media sosial. Namun sungguh disayangkan pasar papringan di desa Caruban ini hanya bertahan satu tahun. Ada beberapa kendala yang membuat pasar tersebut tidak bisa lagi diadakan. Tapi Alhamdulillah pada bulan Mei 2017 Pasar Papringan kembali dibuka di daerah Kedu. Ide utamanya masih sama, sebagai konservasi alam dan memaksimalkan potensi alam serta sumber daya manusia. Pasar papringan kembali dihadirkan oleh orang yang berbeda tapi punya satu visi yang sama. Ia adalah Fansisca Callista selaku Project Manager Pasar Papringan. Kak Sisca ini ternyata juga lulusan Desain Produk ITB. Ia juga sudah menamatkan S2 Desain Budaya di Chiba University, Jepang. Bersama dengan Komunitas Mata Air, warga desa Ngadiprono dan juga bapak Singgih dari Sepedagi Movement, kak Sisca menggelar Pasar Papringan.
Pasar Papringan jilid dua diadakan di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung. Kali ini untuk para peminat Pasar Papringan tidak perlu menunggu sampai 35 hari untuk mengunjungi Pasar Papringan di gelaran berikutnya. Sebab kali ini pasar buka dua kali sebulan, saban hari minggu wage dan minggu pon. Diselenggarakan di lahan kebun bambu seluas 2500 meter persegi, pasar di buka mulai pukul enam pagi hingga 12 siang. Masih seperti sebelumnya, dimana pengunjung yang ingin membeli jajanan harus menukarkan uang mereka dengan kepingan bambu terlebih dahulu. Yap. Keunikan lainnya dari pasar ini adalah, pembeli menggunakan kepingan bambu sebagai alat transaksi. Jika dulu di PasPring Kelingan punya beberapa nominal kepingan bambu, sekarang PasPring Ngadiprono hanya punya satu nominal. Dulu ada kepingan yang bertuliskan 1, 5, 10. Dimana satu itu jika dikurskan dengan rupiah bernilai seribu. Sekarang hanya ada satu keping yang bernilai dua ribu. Di lapak jajanan akan tertera harga makanannya. Misalnya untuk satu bungkus sawut dihargai satu keping bambu. Begitu seterusnya dengan jajanan atau makanan lain.
Pada hari Minggu kemarin, tanggal 5 November adalah hari pasarannya PasPring, yakni minggu wage. Alhamdulillah, semula saya yang hanya bisa melihat melalui media sosial, akhirnya bisa datang ke pasar antimainstream ini. Padahal sudah sangat penasaran sejak PasPring masih berada di Kandangan. Sampai pindah ke Kedu, baru kali ini bisa berkunjung. Waktu itu kalau tidak salah sore hari tiga hari sebelumnya, teman sekelas sewaktu SMA dulu tiba tiba mengajak saya untuk dolan. Kami jadi kerap bertemu karena saya sudah dua kali membeli jilbab darinya. Tak disangka ia juga masih saudara dengan saya. Saya sudah punya firasat sebelumnya. Sebab ia tinggal di Kaloran, dimana kebanyakan saudara ibuk dari pihak nenek banyak yang tinggal disana. Nyambung sedulur lah istilahnya. Akhirnya kami berencana datang ke PasPring karena pas sekali akhir pekan kemarin adalah hari pasarannya.
Dari pusat kota membutuhkan waktu sekitar 20 menitan. Ketika hampir memasuki kawasan Pas Pring kemacetan pun mulai terlihat. Luar biasa, tak hanya warga Temanggung, tapi juga dari kota lain. Memang PasPring ini sudah sangat kondang. Bahkan turis mancanegara pun tak kalah antusias dengan Paspring. Ramai bukan main. Pas tiba di lokasinya juga demikian. Ramai dan saya hampir tidak bisa melihat lapak lapaknya. Kami datang agak terlambat. Padahal waktu itu baru pukul 9 pagi. Tapi jajanan sudah banyak yang ludes. Disana ada berbagai macam jajanan tradisional khas Jawa tengah khususnya Temanggung. Ada sawut, cethil, klepon, getuk, dan masih banyak lagi. Lalu ada makanan berat seperti bubur sayur, soto ayam, kupat tahu, gudheg, sego gono, sego jagung, nasi merah, dan lainnya. Tidak hanya tempatnya yang asri dan bikin nyaman, tapi semua makanan yang di jual adalah menu sehat. Pengolahannya tanpa MSG dan jangan harap kalian menemui bungkus plastik disini. Sebab jajanan di tempatkan di tampah bambu yang dilapisi daun pisang atau menggnakan bejana tanah liat. Untuk pembungkusnya, mereka menggunakan daun pisang. Sedangkan untuk makanan berkuah, mereka menggunakan batok kelapa. Tidak hanya jajanan dan makanan serba sehat, tapi juga ada hasil panen warga. Ada buah buahan dan juga sayur mayur. Oh ya…selain itu, yang membuat saya sangat kagum adalah, PasPring menyediakan banyak tempat sampah. Jadi pengunjung tak perlu kebingungan saat ingin membuang bungkus jajanan. Tengok kanan, ada. Tengok kiri juga ada. Tempat sampahnya juga berasal dari anyaman bambu. Jika ingin belanja tapi lupa bawa tas untuk menampung belanjaan, tak perlu khawatir. Kalian bisa beli tas anyaman bambu yang unik sekali. Pokoknya tidak ada plastik.
![]() |
sawut |
![]() |
bubur kacang ijo x ketan ireng uenak |
Jika bisa datang lebih pagi, pengunjung bisa melihat pertunjukan kesenian jaran kepang (kuda lumping) dan tari tradisonal. Selain itu juga ada pertunjukan musik akustik. Oh iya, karena acara ini di dampingi pak Singgih selaku penggagas Sepedagi Movement, di bagian pojok ada stand Sepedagi. Selain itu nama dari PasPring ini sebetulnya adalah Sepedagi x Mata Air Ngadiprono. Seperti yang sudah saya ungkapkan tadi. Gelaran PasPring ini terbentuk atas kerja sama Sepedagi Movement bersama dengan Komunitas Mata Air Ngadiprono. Kemarin saat saya tiba disana, beberapa orang sedang berkumpul disana. Seperti sedang ada workshop. Atau mungkin tempat itu jadi semacam basecamp nya para penggede PasPring. Hehe entahlah. Tapi jadi agak sungkan mau lihat lihat stand itu.
Alhamdulillah, pengalaman kemarin datang ke PasPring adalah pengalaman yang berkesan. Saya senang bisa berada di bawah rimbunnya pepohonan bambu dan menikmati jajanan tradisional. Sebetulnya bingung mau beli apa karena terlalu ramai. Sampai belum sempat menjelajah lokasi PasPring lebih jauh. Disana ada playground nya juga dan ada perpustakaan yang bangunannya seperti rumah keong tapi dari susunan bambu. Yang tak kalah bikin bahagia, disana tak sengaja bertemu teman semasa SD dan SMP. Sayangnya menjelang pukul 11 hujan mulai turun. Pengunjung pun banyak yang berlarian meninggalkan lokasi. Begitu juga dengan saya dan teman saya. Kami memutuskan untuk pulang.
Untuk para penggede PasPring dan warga dusun Ngadiprono, saya ucapkan terimakasih. Semoga bisa jalan terus dan menjadi tujuan wisata di Temanggung. Temanggung bisa lebih dikenal oleh masyarakat luas. Semakin menambah keunikan Indonesia untuk menarik para turis mancanegara. Semoga bisa menguntungkan semua pihak. Dengan adanya PasPring, lingkungan bisa tetap lestari, kebudayaan dan kerukunan bisa tetap terjaga. Tidak hanya itu, semoga saja bisa menginspirasi siapa saja untuk menjalani hidup sehat dan cinta alam. Aamiin. Sukses terus Pasar Papringan Ngadriprono. Untuk yang penasaran dan ingin sekali datang, monggo besok tanggal 19 November datang saja. Atau bisa kunjungi Instagram @pasarpapringan untuk info lokasi maupun jadwal pasarannya.
-penikmatsunyi
2 Comments
'PaPRINGan'. Hmm.. apakah karena digelar di kawasan penuh bambu, jadi dinamakan demikian? Hehe..
BalasHapusKamu cocok jadi Jurnalis kayaknya, Tif. Lengkap banget, nggak cuma sekedar nulis pengalaman. Menarik. Wish I could go there too :)
Betul sekali. Papringan adalah sebutan untuk kawasan yang dipenuhi pohon bambu (bhs jawa). Hehe
HapusAkkkk arigatou...makasih bgd. Duh jd ge er nih.
Eheheh hbs nya aq bnr2 jatuh cinta sama pasar papringan ini. Juga kagum sama pak Singgih dan orang2 yg terlibat.
Aamiin. Kapan kapan kl bs main ke Temanggung tak ajakin kesana. Ehehe. :3