Prolog
Aku tak sengaja menumpahkan sedikit kopi ke bajuku saat menyeruputnya. Aku terkejut karena rasa panas mengenai bibirku meskipun aku menikmatinya juga, maksudku citarasa kopi itu. Aromanya juga membuatku tenang dan lega. Aku bisa sejenak bersantai setelah kesibukan pagi yang nyaris tanpa jeda.
Aku menghabiskan sisa makanannya dengan menambahkan sambal dan sayuran rebus. Sengaja aku tak menambahkan nasi lagi. Karena kupikir ini sudah cukup. Aku selalu ingin menikmati kopi saat pagi tapi aku tak akan menikmatinya tanpa sarapan terlebih dahulu. Banyak sekali keresahan yang muncul ke permukaan saat aku mulai meneguk kopiku. Hal hal yang selalu aku sembunyikan perlahan muncul saling berdesakan berebut tempat dalam benakku. Saat aku memiliki waktu luang, aku akan terdiam dan memikirkannya. Memberikan mereka ruang untuk ku proses. Entah apapun itu output nya nanti.
Fragmen 1
Pukul dua belas lewat empat puluh menit siang. Gelas kopiku yang kedua sangat segar. Aku memasukkan 4 butir es kedalamnya. Suasana sepi tak ada jeritan atau derap langkah kaki anak anak. Aku masih merindukan dia, yang kini harus melawan kantuk saat bekerja. Pekerjaannya mungkin semakin berat dan jam tidurnya berkurang. Aku memintanya untuk mencari pekerjaan lain tapi dia bilang,
Jalani saja dulu. Aku ingin melihat seberapa jauh dan mampu aku menjalani ini semua.
Aku ingin sekali memeluknya. Aku tak pernah salah menelusuri setiap tubuhnya dan seberapa kuat aku harus menekannya. Aku pandai sekali memijat. Beruntung sekali bukan? Paling tidak, keahlian yang tidak membanggakan ini bisa berguna saat kekasihku itu pulang membawa rasa lelahnya. Aku siap untuk menyingkirkan itu semua dan menggantinya dengan rasa nyaman, dengan jemariku ini. Dia bilang
jari jarimu mungil tapi mengapa bisa begitu kuat dan nyaman sekali untuk memijat?
Ia juga selalu bertanya bagaimana aku bisa menguasai teknik pijat. Aku sendiri tak tahu. Mungkin semacam intuisi yang membimbingku.
Fragmen 2
Kopiku telah tandas. Aku masih selalu mengkhawatirkan hal hal lain. Ada hal yang seperti tengah diambang jurang. Kepercayaan yang setelah aku pikir pikir tak pernah aku miliki sendiri. Hampir seluruhnya diwariskan turun temurun. Aku ingin mencari dan mengalami langsung. Aku ingin mendalami ini dengan segenap pikiran dan hatiku. Aku ingin dapat menikmati segalanya dengan sadar. Aku tidak ingin memiliki prasangka prasangka buruk akan hidup ini. Aku tidak ingin menyalahkanNya atas segala kesulitan yang kujalani. Aku ingin mencapai titik dimana aku selalu bisa memetik pelajaran berharga dari setiap peristiwa. Bagaimana cara untuk mencapai titik itu?
Fragmen 3
Semalam dalam mimpi aku melihatnya sekarat. Dan aku berkata padanya, aku memaafkan semua kesalahannya. Jika ini waktunya, pergilah dengan tenang.
Pada akhirnya aku memilih untuk memaafkannya saat ia telah diambang kematian. Jika kelak hari itu benar benar datang, bagaimana aku akan menghadapinya? Ataukah waktu yang kumiliki tak lebih panjang darinya? Kita semua tak tahu akan hal itu. Harusnya aku memaafkan saja apapun yang telah, sedang, dan akan dilakukannya padaku. Meskipun menyakitkan, aku harus belajar untuk menjadi lebih kuat menghadapi dan memberinya maaf. Aku pun memiliki banyak sekali kesalahan yang mungkin, tanpa aku tahu, sikapnya yang selalu membuatku bersumpah tidak ingin memaafkannya itu karena kesalahanku juga. Jika sudah begini aku selalu ingin berkata, aku tidak pernah minta untuk hadir dan dilahirkan, mengapa aku harus menanggung ini semua? Rasanya tidak adil bagiku.
Epilog
Kopiku habis, apakah aku akan menyeduhnya untuk yang ketiga kali? Mungkin aku segera mengerti mengapa beberapa orang juga merokok saat menikmati kopi. Seperti sebuah keharusan. Kurasa mereka mendapatkan rasa nikmat silih berganti dari kopi dan tembakau. Kopi mereka tak akan kunjung habis karena sembari menghisap rokok. Bila rokok habis mereka akan menyeruput kopi lagi. Jika kopi habis, masih ada berbatang batang rokok yang dapat dinyalakan dan dihisap lagi. Haruskah aku mulai mencoba menghisap rokok juga?