Aku selalu berkata pada diriku bahwa setiap perasaan yang hadir tidak akan pernah kusangkal. Namun agaknya itu hanya berlaku pada perasaan sedih, bahagia, rindu. Namun perasaan marah dan kecewa masih menjadi emosi yang tak bisa kutangani. Aku meledak oleh amarah. Aku runtuh oleh rasa kecewa. Namun secepat mungkin aku berusaha menekan mereka jauh ke dalam palung hatiku. Menenggelamkan mereka jauh ke kegelapan. Aku sangat enggan memeluk mereka dan mencoba bernafas sembari menyadari kehadiran mereka.
Kehadiran mereka adalah hujan mata pisau*. Menghunjam dan terasa perih. Itu sungguh menakutkan untukku. Menyelami kekecewaan dan amarah rasanya terlalu menyakitkan.
Dengan cara seperti apa aku harus menangani amarah dan kecewaku? Dengan cara apa aku bisa berdamai, memaafkan, dan pulih? Aku telah terluka setiap tahun, setiap berkurangnya usiaku. Kata maaf dan pelukan di hari raya lambat laun terasa hambar bahkan memuakkan karena hanya ritual tanpa makna. Segalanya percuma karena aku tahu akan ada luka demi luka lagi yang hendak mereka toreh bahkan sebelum kering bibir mengucap maaf.
Aku telah lama mati dan aku hidup menjadi aku yang terpisah dan tercerabut dari kalian. Aku tak lagi mengerti apa arti kita sekarang. Kukira kalian adalah rumah. Namun ternyata disini aku merasa asing dan kehilangan arti diriku. Menjauh adalah cara terbaik agar aku tak lagi kehilangan diriku. Sudah cukup kalian memisahkan esensi diriku. Bertahun aku mencari makna dan belajar mencintai diriku sendiri, sendirian. Kalian hanya selalu membuatku semakin membenci diriku alih alih menerima. Saat aku kira aku telah berdamai dan pulih dari segala hal menyakitkan, kalian yang lagi lagi melukai. Yang kurharapkan dapat menguatkan justru mematahkan kakiku dan melumpuhkan
Catatan
*meminjam frasa dari lagu FSTVLST