Saya lihat dari balik jendela siang ini begitu terik. Namun dari dalam rumah rasa gerah di luar itu terhalang oleh tembok rumah. Sebagai gantinya terasa sejuk dan nyaman. Alhamdulillah.
Saya baru saja duduk mengambil nafas setelah menutup gerbang dan pintu warung karena keadaan sudah sepi. Kemudian bergabung bersama Bening dan juga Ibu di ruang tengah sementara tv menyala menayangkan kartun kesukaan Bening. Ibu membuka obrolan dengan berbagai hal seputar kegiatan beliau sehari hari. Saya menanggapinya dengan antusias. Namun setelah jeda berselang dan seperti tak ada tanda tanda ibu akan melempar topik pembicaraan, saya mencoba mengawali dengan sebuah pertanyaan. Tentang hal yang belakangan ini cukup mengusik pikiran. Ibu hanya menanggapi sekenanya. Pendek saja. Saya menjadi bingung bagaimana untuk melanjutkan obrolan. Dengan sedikit tak acuh sembari memperhatikan ponsel ibu membahas lagi pertanyaan tadi dan memancing saya untuk mengutarakan pendapat. Namun ibu terdiam dan perhatiannya sudah sepenuhnya tertuju pada ponsel. Saya memutuskan untuk berhenti dan diam. Bahkan ketika ibu tak lagi menatap layar ponsel beliau pun sudah lupa dengan apa yang mulanya saya bahas. Kemudian topik yang ingin saya bahas harus usai begitu saja. Sebagai gantinya ibu membahas topik lain.
Obrolan kami terhenti saat bapak pulang dari Masjid usai sholat Jumat. Saya kembali kerumah bersama Bening untuk sholat dhuhur. Sebelum mengambil air wudhu terbersit perasaan kecewa. Saya berpikir bahawa Ibu hanya senang didengar tapi tak punya minat yang sebaliknya (mendegarkan saya) . Rasanya sedih dan membuat tersadar, inilah yang Bening rasakan jika saya mengabaikannya. Namun saya sangat bersyukur karena Bening dapat mengekspresikan apa yang dia rasakan dengan jelas. Jika saya sedang sibuk melakukan sesuatu ia akan terlihat sedih saat tak ada yang memperhatikannya. Atau bahkan ia akan bersuara gaduh. Meski sering kali saya merasa jengkel tapi kini saya paham. Justru itulah yang membuat saya bisa segera menyambutnya. Jika semua hanya terlihat hening dan tenang seperti tak ada yang terjadi tapi justru ada yang terluka batinnya, itu terasa jauh lebih menyakitkan.
Lantas saya teringat pada tulisan Sekar yang saya baca beberapa waktu yang lalu:
Bersamanya, kau belajar menjadi teman bicara yang mampu dan layak juga. Untuknya. Untuk anak perempuan atau laki-lakimu kelak. Untuk ibu dan bapakmu yang sudah beranjak tua, meski dulu mereka tak punya banyak waktu untukmu.
Saya beruntung karena tetap ada seseorang yang akan mendengarkan keluh kesah saya tanpa menginterupsi dan menanggapi saat saya sudah berhenti atau bertanya bagaimana pendapatnya. Meski kami kali ini dapat bertemu sepekan sekali atau hanya 2 kali saja dalam satu bulan, suami saya akan dengan antusiasnya menantikan waktu berbincang di ruang tamu ketika Bening sudah terlelap.
***
Baiklah tak apa jika ibu belum bisa mendengarkan apa yang ingin saya bicarakan bersamanya. Namun setidaknya ibu merasa nyaman dan leluasa untuk ngudarasa yang mungkin tak bisa beliau lakukan selain dengan saya.
Tak apa...tak apa...ini juga datang dari Allah. Segala sesuatu yang terjadi adalah kehendakNya. Allah akan memberikan kekuatan pada hati ini. Semoga kapanpun dan sampai kapanpun saya bisa mendengarkan keluh kesahnya dengan sama antusiasnya seperti hari ini.
Catatan:
Tulisan yang saya maksud adalah tulisan yang dimuat di blog musim sekar dengan judul Teman Bicara. Silakan bisa ketuk tautan berikut untuk membacanya : ketuk disini