Pada paruh waktu musim penghujan. Aku merindukan sebuah kisah yang seakan telah terhapus dari ingatan para lakonnya. Bila kau tanyakan kapan kisah itu terjadi, ada sebuah kronologi waktu yang teruntai hingga hari ini. Meski kisah itu kini hanya menjadi drama monolog yang sepi. Ya...sepi. Hanya satu lakon saja yang melanjutkan kisah itu. Keberadaannya pun kini semacam sebuah mitos. Dipercaya keberadaannya, tapi seakan tak bisa dijamah. Ingin disanksikan dan ditiadakan, tapi ia masih ada.
Demi rintik yang menghunjam bumi. Yang mulanya samar samar hingga bagaikan ribuan jarum yang hendak meruntuhkan tanah. Rintik kisah itu meresap kedalamnya. Dibawa kegaduhan, menghilang ke kesunyian. Ia bersembunyi. Namun aku merindukannya.
Ingin kusentuh mesra tiap jemari putih kisah itu. Ingin aku, kecup kening yang panas menyimpan amarah dan dendam itu. Ingin aku rengkuh tubuh yang selalu berpaling itu. Ingin aku telusuri kaki yang tak pernah lelah untuk menjauh.
Dalam ruang antara. Antara ingin dan enggan. Antara ego dan nurani. Kerinduan terjebak di tengahnya.
Mendengarkah para lakon itu? Ada sebuah nyanyian nestapa yang terus saja disenandungkan si lakon yang sendirian di panggung drama itu. Nyanyian yang begitu panjang. Tentang nestapa dirundung kehilangan, kerinduan, marah yang tak berdaya, harapan, dan segala rasa lainnya. Semua rasa itu tak pernah luput dari balutan nada nada pilu.
Bila datang kemarau nanti, kerinduan itu mungkin akan segera mengering. Sejenak diam tanpa suara. Sampai nanti di musim penghujan berikutnya, ia kan bangkit dan menari nari di keheningannya. Menanti tangannya diraih oleh kerinduannya. Menari bersama.
- Tifanny Lituhayu
Gresik, 28 Februari 2020