Setelah menicicipi berbagai merk kopi, ternyata kopi produk lokal yang diolah oleh pengusaha UMKM jauh lebih nikmat ketimbang kemasan pabrik berjenama terkenal. Tapi kopi pabrikan nescafe terutama yang classic menurut saya masih mending sih daripada yang lain. Salah satu alasan kenapa milih nescafe karena seduhannya tidak meninggalkan ampas. Bahkan dilarutkan di air es pun masih oke. Namun jika ada dua pilihan antara nescafe dan kopi lokal, jujur sih saya lebih milih kopi lokal meskipun bakal ada ampasnya kerana engga punya alat press kopi untuk menyeduhnya.
Oh ya...berdasarkan pengalaman pribadi, saya menggolongkan menjadi dua tipe kopi lokal berdasarkan pengolahannya. Yang pertama adalah kopi lokal yang diolah lebih profesional karena merupakan produk UMKM. Sedangkan yang kedua, kopi lokal yang pengolahannya masih sangat sederhana atau kopi rumahan.
Mari kita bahas satu persatu.
Kopi produk UMKM meskipun juga masih tergolong sederhana pengolahannya jika dibandingkan dengan kopi kemasan pabrik, setidaknya sudah melalui tahap pengolahan menggunakan mesin yang canggih. Yakni untuk proses sangrai atau roasting. Dengan penggunaan mesin sangrai khusus, kita dapat menentukan suhu dan durasi penyangraian. Kebanyakan yang saya temui, kopi lokal produk UMKM biasanya berwarna coklat muda. Biasanya bubuk kopi yang berwarna coklat muda dihasilkan dari proses roasting biji kopi dengan tipe light hingga medium roast. Rasa kopi yang dihasilkan dari kedua metode ini cenderung asam. Namun diantara keduanya, metode light roasting menghasilkan cita rasa kopi yang lebih asam. Sensasi rasa seperti itulah yang paling sering saya rasakan saat menikmati kopi lokal produk UMKM. Saya paling suka dengan kopi robusta produk Temanggung. Dari UMKM manapun pasti rasanya sangat nikmat saat diseduh.
Bahas yang berikutnya adalah kopi lokal rumahan. Kopi lokal rumahan ini biasanya merupakan kopi konsumsi sendiri. Beberapa penduduk desa yang memiliki kebun akan menanam tanaman kopi meski tak banyak. Entah di kebun belakang rumah atau diantara kebun sayur dan palawija mereka. Mereka akan memanen kopi dan mengolahnya dengan sederhana. Biasanya biji kopi akan disangrai secara manual menggunakan wajan diatas tungku. Oleh karena itu suhunya tidak dapat dikontrol. Selain itu durasi penyangraian hanya berdasarkan naluri saja.
Kebanyakan kopi rumahan ini menghasilkan biji kopi berwarna lebih gelap. Kalau saya sih menyebutnya gosong. Karena bubuk kopinya sangat hitam seperti jelaga. Rasanya juga lebih pahit dan rasa asamnya sudah hilang sama sekali. Saat diseduh dan menyeruputnya selalu mengingatkan saya pada pria pria petani bertubuh liat yang meskipun sudah berusia senja tapi nampak bugar dan sedang menikmati kopi serta rokok lintingan melepas penat setelah seharian bekerja di sawah.
Beberapa hari yang lalu setelah pulang dari Embung Walitis kami mampir ke sebuah warung sembako untuk berbelanja kebutuhan pokok. Saya juga membeli kopi untuk persediaan di rumah. Namun pemiliki toko tersebut berkata kopi yang mereka punya hanya kopi buatan sendiri, nggoreng sendiri katanya. Benar saja, saat sampai rumah dan saya seduh, rasanya memang seperti yang saya ceritakan tadi. Hihi. Syukurlah mas Erwin tetap menikmati kopi tersebut. Kalau mas Erwin sih asalkan kopi hitam dari produk lokal bagaimanapun pengolahannya pasti doyan.
Belakangan ini saya juga mulai menikmati kopi lagi. Berawal dari iseng eh kebetulan dapat kopi robusta yang enak juga akhirnya jadi cukup sering meminumnya. Kalau untuk kopi buatan rumahan saya hanya meminumnya sesekali saja. Hihi.