Suatu kali aku pernah berfikir, sungguh enggan aku membuka mulutku untuk bercakap dan bercerita jika kemudian yang aku terima hanya tanggapan bernada sinis. Sangat jauh dari apa yang aku harapkan. Aku merasa kecewa. Sebab aku perlu waktu untuk mengumpulkan keberanian memulai bercerita. Pun dengan kata kata yang aku lontarkan. Aku perlu memikirkan dan menyusunnya terlebih dahulu dalam benakku. Terserah. Mungkin orang akan berpikiran bahwa aku tak mau dikritik atau apalah. Namun yang pasti aku butuh di dengar dengan sedikit rasa empati.
Aku tak tahu pasti kapan awal mulanya aku menjadi seorang yang peragu dan begitu sunyi. Aku mengumpulkan ingatanku dengan bantuan orang orang disekitarku yang mengingat segelintir peristiwa masa lalu. Saat aku masih kanak kanak yang bahkan belum bersekolah, aku gemar bertanya ini dan itu kepada semua orang. Aku senang bertanya pada eyang putri saat memasak di dapur. Dapur itu sekaligus ruang makan. Dengan dua kompor minyak di pojok ruang bagian selatan. Lemari dan perabot meja kursi berwarna senada, hijau muda. Aku mengingat setiap detail bagian dari ruangan itu. Bahkan aku masih ingat dimana biasanya eyang menyelipkan pisaunya. Menyimpan bumbu dapur dan aku selalu bertanya sambil mengguncang guncangnya.
"Eyang ini apa?"
"Kluwek."
Ada sesuatu yang terguncang dan berbunyi klutuk klutuk dalam benda yang berwarna kelabu seperti batu tapi ringan itu.
"Isinya apa?"
Eyang merasa lelah barangkali untuk meladeni mulut kecilku yang tak berhenti merepet.
Aku tak ingat siapa yang menghardikku dan memintaku untuk berhenti bertanya. Namun aku yakin. Sesuatu telah terjadi di masa lalu. Merenggut suaraku. Merenggut kepercayaandiriku. Mengambil keberanianku. Aku tersisa menjadi seorang yang terlalu sunyi dan enggan untuk menanggapi perkataan orang. Bahkan ketika mereka menyudutkanku, mengolokku dengan puasnya, aku hanya menatap mereka satu persatu tanpa suara, tanpa perlawanan.
Aku tahu waktu sudah berlalu dan zaman sudah berganti. Tapi kurasa ada sesuatu yang masih terpendam di dalam perasaanku. Entah. Mungkin aku belum memaafkan sebagian dari mereka. Aku merasa tak ada gunanya lagi bertatap muka atau sekadar berbincang dengan orang yang bahkan dulu tak pernah dengan serius menganggapku ada. Jika tak berpapasan nyaris tertubruk mereka tak akan menyapa. Lantas untuk apa aku harus membuang waktuku sekadar menyimak obrolan grup whatsapp berisi mereka? Lupakan. Aku tak peduli dan aku tak ada setitik pun keinginan untuk membuka dan membacanya.
Aku harap Whatsapp bisa lebih canggih untuk memberikan sebuah fitur konfirmasi undangan grup. Berikan dua timbol pilihan "terima" dan "tolak". Maka sudah barang tentu tombol tolak menjadi kesukaanku.
-Tifanny