Salam...
Sepertinya malam telah gagal membuat diriku lebih tenang. Dan semuanya jadi kacau balau. Hawa dingin mungkin salah satu penyebabnya. Tapi akulah yang jauh lebih gagal karena tak bisa mengatasi diriku sendiri. Kafein membuat otakku lebih aktif. Sayangnya justru hal hal tak perlu yang berputar di benakku. Disinilah aku sekarang. Mencari cara, mencari medium untuk aku melepaskan apa yang sedari tadi masih berputar ini.
Fase fase yang telah dijabarkan oleh para psikolog sudah aku lewati. Jangka waktu yang aku butuhkan rasanya tak begitu lama. Beberapa bulan terkahir ini aku teramat berterima kasih padamu. Meski aku tahu kau tak berniat mengajariku untuk mencintai sunyi, tapi kau yang selalu pergi dan menghilang entah kemana kala itu membuatku terbiasa dengan sepi. Mengajarkanku apa itu tabah. Mengajarkanku untuk lebih kuat berhadap hadapan dengan kekosongan yang begitu mencekam.
Kini sunyi menjelma desah nafasku. Kini sepi adalah keseharianku. Dan kosong, adalah sekitarku. Bagaimana ia mampu mendengar teriakanku, jika aku telah memilih ruang yang meredam segala bunyi. Tiada tersisa celah untuk membocorkan suara. Maka aku memilih untuk diam. Meski dalam hati ini telah riuh memanggil namanya. Meminta ia datang dan tidak akan pernah pergi lagi.
Kau kini bersuka. Dan apa yang tak sempat kau lakukan waktu itu sekarang bisa kau lakukan kapanpun engkau mau. Kau yang dulu membiarkan aku bercumbu dengan sunyi, sepertinya kini kau menjadi orang yang pencemburu, bahkan pada angin yang tak sengaja menyibakkan rambutnya. Bukankah begitu?
-Tifanny