Saya lelah berada di tengah pertemua dua arus. Arus pemikiran orang tua dan arus pemikiran suami. Saya mencoba mengambil sisi baik keduanya. Namun tak jarang saya diterpa oleh salah satunya.
25 tahun lebih bersama orang tua dan tumbuh menjadi diri saya yang saat ini tentu banyak sekali pengaruh dari cara didik beliau berdua. Bagaimana menanggapi situasi dan respon saat menghadapi masalah. Kemudian dua tahun terakhir ini memulai kehidupan pernikahan dan dipertemukan oleh suami dengan cara pandangnya yang 180 derajat berbeda. Kesenjangan tentu ada. Ketidakserasian dalam berpendapat sudah pasti. Ini adalah saat saat yang menantang. Saya mencoba untuk memahami bagaimana suami dan belajar memahami hidup dengan sudut pandangnya.
Saya belajar untuk menghargai keputusan seseorang. Saya tidak bisa memaksakan orang lain mengikuti dan bertindak sesuai standard yang saya miliki. Setiap orang punya prinsip masing masing. Itu yang saat ini sedang saya pahami dan pelajari. Saya tidak ingin menilai dan menghakimi seseorang hanya karena orang itu bertindak lain dengan prinsip saya. Namun orang tua belum mengerti akan hal itu.
Baiklah saya ingin ambil satu contoh masalah yang selama ini mengganggu pikiran. Kita semua tahu bahwa pemerintah mulai menganjurkan vaksin covid 19 selain menerapkan protokol kesehatan. Bahkan saat ini pemerintah tengah melakukan percepatan vaksinasi. Saya sudah vaksin, dan keputusan saya untuk vaksin jujur saja karena ingin mengikuti anjuran pemerintah. Saya pasrah. Saya mencoba untuk menjadi warga negara yang baik. Semua anggota keluarga pun juga sudah melakukannya. Hanya suami saya yang belum bersedia vaksin. Jangan berfikiran bahwa saya tak pernah membujuknya untuk vaksin. Namun karena ia sendiri belum bersedia, saya tak bisa memaksa. Lagi pula meski sebagian besar masyarakat sudah vaksin pemerintah masih saja membatasi aktivitas publik. Dan saya merasa terkhianati saat kami sudah menerapkan protokol kesehatan serta vaksin, justru orang orang yang baru saja berlibur dari luar negeri menolak untuk karantina dan mereka lolos. Pemerintah seolah tak peduli. Lalu dengan lebih memuakkan lagi, saat ini syarat administrasi (membuat surat surat entah itu KTP, dan sebagainya) ditambah dengan kartu vaksin. Apabila belum vaksin, masyarakat tidak akan mendapat pelayanan.
Saya merasa terpojok saat pembahasan mengenai percepatan vaksin. Hanya suami saya saja yang belum. Saya kecewa dan muak dengan semua ini.
*
Bukan masalah vaksin saja. Namun bagaimana suami saya menjalani kehidupannya pun selalu dikritik oleh orang tua saya. Mengenai kerja lembur, kegiatannya di komunitas. Saya sudah berpesan pada suami perihal itu semua. Soal kesehatannya agar dijaga meski lembur. Soal prioritas meski ia sedang aktif di komunitas. Saya mengerti apa yang dilakukannya. Memang pernah mas lalai soal prioritas tapi itu sudah menjadi pelajaran bagi kami dan tak akan terulang lagi.
Mas adalah sosok yang tak pernah takut dengan rasa lelah. Selagi ia mampu ia akan terus berupaya. Lain dengan keluarga saya cenderung memanjakan diri. Saya tahu, bawa kesehatan dan tubuh ada batasnya. Saya pun sudah berpesan pada suami agar berhenti saat tubuh memberi sinyal dan beristirahat. Ia sudah terbiasa sejak masih kecil dan didikan almarhumah ibu memang berbeda. Ibu adalah sosok yang tak kenal lelah.
*
Saat ini saya merasa lelah, kecewa, dan bingung. Saya mengharapkan kehidupan yang lebih baik ditahun mendatang dan seterusnya. Saya berharap pemerintah tidak semena mena. Saya berharap orang tua saya mulai mengerti bahwa keputusan dan cara hidup tiap tiap orang berbeda. Saya berharap, saya menjadi pribadi yang lebih tangguh dan tak mudah goyah dengan terpaan duniawi.