Saat ini segala keluh atau sambat pastilah disebabkan si covid yang menyebalkan itu. Tidak ada habisnya. Tempo hari saat berbincang dengan ibu via Whatsapp, saya mengutarakan keinginan untuk pulang kampung dan kembali menetap disana. Keinginan itu tentu saja masih berupa rencana sebab banyak yang harus dipersiapkan maupun diperhitungkan. Pulang kampung dan menempuh perjalanan jauh antar provinsi untuk saat ini menjadi berkali kali lipat beratnya. Terlebih untuk pulang berkendaraan umum seperti bus malam. Tentu bus akan melewati berbagai kota, termasuk kota yang masuk dalam kategori zona merah. Nah kalau seumpama bus harus menaikan penumpang dari kota tersebut bagaimana? Pemikiran semacam itu dan lain sebagainya senantiasa berputar putar hingga sampai saat ini saya masih ragu menentukan kapan baiknya saya pulang. Sedang galau seperti ini ibu pun memberikan tanggapan soal rencana saya.
"Nanti kalau sudah sampai rumah, karantina mandiri dulu 14 hari di rumah belakang."
Deg. Rumah belakang sudah cukup lama tidak ditempati meski setiap hari oleh bapak selalu dicek. Namun demikian tidak ada yang pernah bermalam disana. Terakhir, tahun lalu saat setelah pernikahan saya. Saya dan suami tidur di kamar utama rumah tersebut. Saya ragu dan tentu saja enggan. Membayangkannya saja saya amat enggan. Ketika malam tiba saya harus tidur di kamar utama yang cukup luas. Sementara di depan pintu langsung berhadapan dengan tangga menuju lantai dua yang tentu saja gelap. Kamar berbatasan langsung dengan garasi di sisi selatan yang juga gelap. Ruang tengah sedikit mencekam semenjak terpasang foto hitam putih almarhum mbah uti dan mbah kakung. Untuk foto mbah kakung saya tidak masalah. Karena hampir di setiap foto mbah kakung, posenya selalu candid alias tidak menatap kamera. Lain halnya dengan foto mbah uti yang close up menatap ke kemera. Ah saya saja yang terlalu parno. Tapi benar benar merinding. Jangankan 2 minggu, membayangkan semalam saja sendirian disana saya tidak kuasa.
Duh bangsat ini si covid. Kata saya dalam hati. Saya tidak kuat jika harus dikarantina di rumah belakang. Mengapa tidak di rumah depan saja tapi di lantai dua? Toh rumah depan juga cukup luas sehingga kecil kemungkinan bagi kami antar anggota keluarga berpapasan jika tidak diniatkan. Justru sebelum adanya social distancing, rasanya kami sudah membiasakan hal itu sejak lama. Bapak kadang sibuk mencuci mobil, mengurus tanaman, dan halaman. Sementara ibuk memasak atau duduk bersantai melepas penat setelah seharian sibuk di warung. Saya, berkutat dengan pekerjaan atau sekadar rebahan di kamar lantai dua.
Tempo hari saya juga mendengar cerita dari suami saya perihal kawannya yang berniat ingin pulang kampung ke Klaten. Ia berkata,
"mas mendingan jangan pulang kampung lah. Orang di kampung biasanya kalau ada orang dateng dari kota uda dianggap bawa virus."
Mungkin karena itulah ia mengurungkan niat untuk pulang kampung.
Sampai kapan saya harus menunggu? Bahkan saya tidak tahu apakah dimasa yang mendatang keadaan akan membaik ataukah menjadi lebih buruk. Saya tidak bisa menemukan sisi postif dari ulah si covid ini. Malahan menjadikan saya cukup pesimis. Itu buruk sekali. Atau saya kurang bertawakal kepada Allah? Sepertinya begitu.
Seperti dalam sebuah lirik lagu Barasuara yang berjudul Taifun:
Di dalam hidup ada saat untuk berhati hati atau berhenti berlari
Mungkin ini saatnya saya berhati hati bahkan sejenak berhenti untuk berserah kepada Allah.
Tifanny Lituhayu
Gresik, 27 Juni 2029