Ku Kira Ini Rumah

April 24, 2025

 Aku pernah meratap saat mengelap dapur biar mengkilap. Kutahan tahan supaya tidak menetes air mataku. Dalam hati bertanya tanya... Kapan aku bisa mengelap dapurku sendiri. Kala itu aku hidup menumpang di rumah kakakku. Rumah nan hangat di kota yang padat. Jauh dari tempat kelahiranku, sebab aku sudah terlalu sering menyuguhkan luka dan kecewa pada orang tuaku. Aku berangkat dengan enggan dan pilu. Setelah berbulan bulan jadi bisul yang menyakitkan bagi bapakku. Muak sekali barang kali melihat mukaku. Setelah aku tiba tiba enggan menuntaskan studiku. 

Aku pun tak tahu, mengapa tiba tiba enggan menyergapku macam rampok. Memporak porandakan tatanan hidupku. Yah yang sebenarnya juga sudah rapuh digerogoti berbagai hal bertubi tubi. Ketidakpercayaan, hubungan yang kandas, hubungan beracun, kandas lagi, lalu aku kehilangan pegangan. Rasanya semua terasa menakutkan saat aku berjalan sendirian, terseok. Aku ingin menghilang saja, mengurung diriku dari dunia luar yang telah merontokkanku. Namun ternyata aku dilempar lagi ke dunia yang asing oleh orang tuaku tanpa ditanya, kenapa, ada apa, apakah baik baik saja. 

Mereka tidak ingin mendengarkan apa yang kurasakan. Mereka hanya ingin dengar apa yang mereka mau saja. Begitu selalu. 

Aku kemudian pulang, dengan rencana yang tak aku duga, kukira ini semua bakal ringan dan semulus permulaannya. Namun ternyata, aku bagai memasuki wahana yang penuh kejutan dan misteri. Membuatku berlinangan air mata, berderai oleh tawa, membara oleh amarah, biru oleh kesedihan. 

Aku masih mencari cari makna rumah meski aku telah berada di sebuah rumah yang aku tempati kini. Rumah yang dibangun oleh bapakku yang ibuku pesankan padaku untuk aku tempati. Rumah yang usianya 30 tahun lebih sudah berdiri. Yang awalnya tanah kosong dan didirikan rumah. Rumah yang agaknya dibangun dengan desain sedikit sembrono, membuatku dan suamiku sering kali berkelakar tentang ini semua. Menyisakan kebobrokan di sana sini. Atapnya yang bocor membuatku bertumbuh, dari manusia yang serba khawatir menjadi lebih berpasrah. Ah tak apa, hanya bocor, bagaimana dengan orang orang yang rumahnya kebanjiran? Membersihakn rumah setelah terjadi banjir adalah hal yang menyusahkan. Begitu pikirku sembari membuang air yang tertampung di panci panci bahkan wajan. Mengepel genangan air yang bocor sembari menatap langit langit yang lembab berjamur. 

Rumah ini meski kami yang kemudian merawat menjadi lebih baik setelah sebelumnya terbengkalai lebih dari 5 tahun, kami bersedia mengembalikannya kapan saja. Tak ada hak untuk berambisi mempertahankan jika bayarannya hanya akan mendengar cacian, pertengkaran, dan keributan lainnya. 

Rumah, bukan hanya soal sebuah bangunan yang melindungiku dari terik dan hujan, tapi juga tempatku pulang dan merasa nyaman di dalamnya. Jika rumah ini membuat perasaanku terus terluka, lebih baik aku angkat kaki. 



You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling