Angin berembus melalui celah celah ventilasi dan udara malam yang dingin menyeruak ke ruang tengah. Seharusnya ruang tengah identik dengan nuansa hangat. Namun karena kelalaian saya saat memberikan instruksi pemasangan tirai, tirai itu tak terpasang di tempat seharusnya seperti dulu. Harusnya bila tirai itu dibentangkan, ventilasi akan ikut tertutup sehingga selain menutup kaca jendela, tirai berfungsi menahan hembusan udara dingin dari luar.
Malam itu saya sendirian di rumah karena suami mendapat jatah jam kerja malam dan baru akan tiba di rumah sekitar pukul 22:30. Sebetulnya saya harus melanjutkan pekerjaan karena dalam beberapa hari lagi akan mengambil cuti. Tapi saya tidak tahan jika harus merasakan udara dingin di ruang tengah. Maka saya membawa laptop ke kamar. Alih alih membuka laptop dan melanjutkan pekerjaan, tubuh saya rebah dan akhirnya terlelap dinina bobo oleh hujan gerimis.
Saya baru terbangun tepat saat suami saya pulang. Terdengar suara gerbang depan terbuka. Perlahan saya bangkit dari tempat tidur. Betapa kagetnya saat membuka pintu kamar. Lantai sudah basah oleh air. Atap dapur bagian pojok yang berdekatan dengan kamar meneteskan bocoran hujan. Air sudah membasahi lantai. Untung saja saya tidak terpeleset karenanya. Dengan perasaan sedih saya mengambil kaus bekas untuk mengeringkan lantai. Saya melihat kearah atap yang kini terlihat kecoklatan karena noda airnya yang kotor. Begitu pula dengan pajangan yang tergantung di dinding. Basah dan bernoda kecoklatan. Dinding pun tak luput dari rembesan air. Saya sangat sedih dan kecewa mengingat bagaimana proses pengecatan yang dilakukan suami saya selama beberapa pekan dan biaya untuk membeli cat yang tak murah. Lagi pula kami sudah memanggil tukang untuk membereskan masalah atap. Tapi seolah semua tak ada gunanya. Kebocoran hampir terjadi di seluruh atap rumah kami.
Kesalahan terjadi karena konstruksi bangunan yang tidak memenuhi standard. Atap dibangun terlalu landai. Sangat tidak cocok dengan iklim di Indonesia yang sering terjadi hujan saat musim basah tiba. Kendati kemarin sudah dilakukan upaya menambah kemiringan rangka atapnya, rupanya masih belum mengatasi masalah. Kami harus melanjutkan untuk menambah lagi rangkanya supaya kemiringan atap sesuai dan air hujan bisa langsung turun kebawah tanpa tergenang dan merembes hingga menghasilkan kebocoran.
Kami hanya bisa termenung. Saya meminta maaf kepada suami dan memintanya untuk berdamai dengan keadaan. Sebab saya tahu, dalam waktu dekat ini kami belum bisa merenovasi rumah. Kami belum memiliki cukup dana untuk itu. Lagi pula, sebentar lagi hari kelahiran bayi akan segera tiba. Kami membutuhkan dana untuk itu.
***
Setiap waktu saat melihat keluar jendela dan menjumpai langit mendung hati saya gelisah. Semakin gelisah saat hujan turun dan berangsur deras. Saya berkeliling ke penjuru rumah sambil mendongak mengecek langit langit. Tapi malam kemarin saya benar benar luput.
Entahlah. Saya tidak membenci hujan. Hanya saja saya tidak lagi menemukan keceriaan seperti dulu diantara rintiknya. Saya dan suami sempat saling diam. Lebih tepatnya ia mendiamkan saya tanpa sebab usai melihat rumah bocor dimana mana. Saya hanya bisa menitikkan air mata. Padahal kami berdua sedang berhadapan sembari makan malam. Makan malam yang menyesakkan. Namun mengetahui saya menangis dalam kesenyapan, ia justru melemparkan pertanyaan lucu terkait hidangan yang kami makan. Saya hanya menggeleng. Ia tak tahan dengan tangisan saya. Air mata telah mencairkan kebekuan dan kebisuannya.
Saya tidak tahu kapan ini segera membaik. Banyak sekali PR yang harus kami selesaikan. Semoga Allah memberikan jalan keluar untuk permasalahan ini.
Tifanny Lituhayu