Pengalaman Mengikuti Bedah Buku di Pasar Papringan

November 21, 2025




Temanggung kota. Janggal sekali. Padahal Temanggung bukan kota, melainkan kabupaten. Aku kebetulan tinggal di tengah-tengahnya. Nama kecamatannya sama dengan nama kabupatennya, sehingga beberapa orang bilang Temanggung bagian kota. Kenapa? Apa karena dekat dengan alun-alun? Dekat dengan kantor bupati? Tinggal di Temanggung itu serba nanggung. Dibilang kota ya tidak, dibilang desa juga tidak. Karena Kecamatan Temanggung juga tak seasri kecamatan lain semisal Kedu, Kandangan, Tembarak, dan sebagainya yang masih punya suasana pedesaan yang kental: area persawahan yang luas, hutan bambu, udara lembap khas desa karena dinaungi pepohonan rindang. Sehingga bagiku, perjalanan menuju Desa Ngadiprono, tempat biasanya gelaran Pasar Papringan dilangsungkan, begitu memukau. Membelah pagi yang agak mendung dengan udara yang masih cukup dingin bersama Mas Erwin menuju Desa Ngadiprono untuk memenuhi undangan bedah buku Jelajah Tutur Bambu. Sudah sebulan (meski tidak berlangsung berturut-turut) ada mahasiswa KKN dari UMN (Universitas Multimedia Nusantara) di Desa Ngadiprono. Mereka membuat berbagai program di desa tersebut, bahkan juga mengundang masyarakat umum Temanggung, seperti workshop ecoenzym beberapa hari lalu dan hari ini ada bedah buku meski undangannya terbatas.

Buku ini merupakan sebuah kisah pengalaman dari Shereen Olivia (penulis) selama 10 hari pertama ia berada di Desa Ngadiprono. Ia menyaksikan warga desa yang kesehariannya bergantung pada tanaman bambu. Tiba di Desa Ngadiprono sebagai perempuan kota yang merasa asing dengan kehidupan pedesaan, tapi karena ia diterima begitu hangat seperti keluarga, Kak Shereen mendapatkan berbagai pelajaran dari warga Desa Ngadiprono.

Aku baru membaca blurb Jelajah Tutur Bambu ketika aku tiba di sana. Rasanya, tiba di sana pun aku masih sembari mencerna segalanya: sesi ulasan oleh Mas Dosen, ayam-ayam berkeliaran di sepanjang jalan dan bahkan di sekeliling tempat acara, obrolan antara aku dan Mbak Sovi, semua itu kujahit satu per satu sembari merasakan denyut kehidupan di hutan bambu ini. Aku juga merenungi beberapa rentetan peristiwa beberapa hari terakhir. Betapa kadang alam semesta ini juga akan bersinergi dengan getaran yang ada di dalam tubuh manusia. Entah pikiran atau apalah itu. Aku sulit mendefinisikannya. Kebetulan aku sedang membaca Babad Ngalor Ngidul yang ditulis oleh Bu Elisabeth D. Inandiak.

Awalnya aku sedang scrolling entah apa—bahkan aku lupa—sampai akhirnya menemukan obrolan seorang perempuan berwajah Eropa tapi mahir berbahasa Indonesia. Rupanya beliau adalah Bu Elisabeth, jurnalis, penulis, dan yap! Dia adalah ibunda Kak Sarah Diorita. Tanpa pikir panjang aku menuliskan namanya di iPusnas dan menemukan Babad Ngalor Ngidul, sebuah buku sastra yang menceritakan kejadian bencana alam tahun 2006 di Yogyakarta, mulai dari serangkaian aktivitas Merapi hingga terjadinya gempa pada 27 Mei 2006. Bu Elisabeth menulisnya dalam bentuk sastra yang indah dan magis. Lalu aku mendapat undangan bedah buku Jelajah Tutur Bambu yang, menurutku, agak mirip.

Bukan isinya, tapi dari sisi penulisnya. Baik Bu Elisabeth maupun Shereen adalah orang yang mengamati dan ingin mencoba lebih dekat serta memahami kehidupan dan laku warga desa yang mereka kunjungi. Mereka berdua mungkin sempat terkendala bahasa. Nada bicara orang kota tentu berbeda dengan orang desa. Pendengaran mereka terbiasa dengan kebisingan dan mau tak mau bicara mereka lebih lantang. Sehingga ketika mereka bertemu dengan orang-orang desa dan mengobrol, mungkin saja ada yang luput oleh pendengaran, tapi justru menjadi utuh dalam kalbu mereka. Karena barangkali mereka telah mulai memahami kebijaksanaan hidup ala warga desa.

Aku membawa pulang hal baru lagi yang bisa kurenungi. Kiranya ini bisa jadi sebuah perjalanan untukku ke awal dunia yang pernah terlewat begitu saja di masa lalu. Bisa menjadi sarana aku untuk bertumbuh dan pulih. Terima kasih, Kak Shereen, sudah menulis buku ini. Aku harap jalan menuju penerbitan buku ini hingga memperoleh ISBN, tercetak, dan bisa berada di rak toko buku berjalan dengan lancar.

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling