Cita Rasa yang Dirindukan
Juli 16, 2020
Sudah beberapa pekan ini saya melewatkan tukang sayur secara sengaja. Saya sama sekali tidak memiliki semangat untuk memasak dan mencoba menu menu baru. Kompor di dapur hanya menyala untuk mengolah bahan bahan sederhana. Membuat minuman atau sekadar menggoreng telur dan memanggang roti, selebihnya sepi. Bumbu dapur sudah lama tidak diperbarui. Semuanya tinggal sisa sisa. Awalnya berniat memasak nasi goreng tapi selalu berakhir dengan pasrah saja nasi putih dan telur dadar. Terakhir saya memasak sapo tahu tidak begitu berhasil karena kuahnya kelewat kental seperti adonan cilok. Rasanya juga hambar. Maka saya dan suami selalu beralih dari warung nasi yang satu ke yang lainnya. Bahkan dulu suami saya yang anti Nasi Padang karena dalam pikirannya sudah tertanam bahwa Nasi Padang itu mahal, lambat laun menikmati juga. Karena ia baru sadar ternyata harga seporsi Nasi Padang tak jauh berbeda dengan nasi campur atau nasi pecel yang biasa ia beli. Hanya saja memang ia tetap pada tim nasi pecel atau nasi campur. Sementara, saya sangat senang karena setelah sekian lama akhirnya saya bisa menikmati lagi Nasi Padang yang dimakan langsung dari bungkusnya. Hmmm nikmat.
Entahlah bagaimana pengeluaran kami. Kami jarang sekali memperhitungkannya. Meski kami pernah berdiskusi mengenai rencana keuangan. Yang pasti, setiap awal bulan suami saya langsung menyisihkan sebagian pendapatannya untuk dialihkan ke tabungan. Sedangkan untuk kebutuhan sehari hari hari kami menggunakan sisanya digabung dengan gaji saya yang Alhamdulillah nominalnya lumayan untuk ukuran ibu ibu berdaster di rumah saja. Hehe. Maka kami, kadang menikmati nasi Padang, mi instant, atau nasi goreng sepiring berdua. Namun semenjak tidak masak saya mengalami kebosanan yang luar biasa. Serasa hanya itu itu saja dan jarang sekali menemukan cita rasa yang membuat saya terkesan. Terutama jika saya membahas soal nasi campur. Varian lauknya sangat monoton. Warung satu dengan yang lainnya sama saja. Berbeda sekali dengan di Jawa Tengah. Meski warung makannya kecil atau hanya berupa warteg, variasi menu lauk dan sayurnya cukup beragam. Ah saya rindu sekali.
Dulu ketika saya masih kecil sering kali menemani mbah uti mencari lauk jika sedang mentog tak ada mood untuk memasak. Biasanya kami mendatangi warung makan mbah Ahmad Dirjo. Beliau merupakan tetangga satu RT. Warungnya terletak di pinggir jalan besar, Jl. Suyoto. Saya masih ingat suasana warungnya. Meja dan kursinya tertata rapi dan ruangannya cukup luas. Di salah satu sisi ruangan terdapat jam besar denganya bandul berwarna perak yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Lalu terdapat sebuah foto wanita bersanggul yang mana itu adalah mbah Ahamd Dirjo, pemilik warung tersebut. Sebenarnya Ahmad Dirjo merupakan nama suami beliau. Sementara itu di bagian depan etalasi kaca berbingkai kayu khas model lama menjadi tempat bagi baskom baskom stainless berisi sayur dan lauk. Semur, Brongkos, tumisan, empis tahu kuah santan, dan masih banyak lagi. Di antara semua itu pilihan mbah uti selalu jatuh pada empis tahu dengan kuah santan yang komplang komplang. Kami bawa pulang dan makan siang, bersama di rumah. Keluhan embah dari hari kehari, dari waktu ke waktu soal masakan mbah Ahmad Dirjo selalu sama. Kurang asin. Kendati demikian mbah uti tetap saja menjadi pelanggan setia mbah Ahamd Dirjo yang saya taksir usianya sebaya dengan mbah uti. Namun beliau perawakannya lebih gempal. Kini mbah Ahmad Dirjo sudah tenang disisiNya. Warungnya kini sudah menjadi warung Bakso dan sudah berganti kepemilikan. Salah satu dari Putra mbah Ahmad Dirjo menempati sepetak kecil tak jauh dari warung Bakso tersebut. Tahun lalu, ia bersama Istrinya untuk pertama kali membuka usaha warung bubur ayam dan soto dengan rombong kecil. Dibandingkan dengan sang Ibunda tentu sangat jauh mengingat dulu warungnya sangat besar. Tapi tunggu dulu, bubur ayamnya menurut saya sangat juara. Rasanya nikmat dan pas sekali di lidah. Saya tidak tahu apakah warung itu masih buka semenjak adanya pandemi? Semoga masih berjalan bisnisnya.
***
Bicara soal kampung halaman bagi saya yang suka makan ini tentu kulinernya yang selalu dirindukan. Mungkin karena memang sudah terbiasa dan menjadi bagian dari kehidupan saya sedari kecil hingga dewasa, makanan disana sangat berkesan. Selain dari cita rasanya, selalu ada memori atau cerita cerita kecil yang cukup sentimental.
Sebut saja Nasi Goreng pak Min. Nasi Goreng Pak Min sudah buka sejak lama. Mungkin sekitar tahun 90an. Pertama kali saya kesana, bersama mbah uti dan bapak. Nasi Goreng pak Min selalu jadi andalan mbah uti. Yang menarik adalah, pak Min selalu mengetuk ngetuk wajan tang teng tang teng nyaring sekali seperti mengamuk ketika memasak. Hingga hari ini meski sudah dipegang oleh generasi kedua, yakni Putri pak Min, cita rasanya sama sekali tak ada yang berubah. Hanya ada empat menu, yakni Nasi Goreng, Nasi Godong. Mi Goreng, dan Mi Godog. Semua khas Jawa. Buat saya nasi goreng merupakan menu andalan. Sampai sampai, seperti menjadi sebuah kebiasaan. Setiap saya sehabis pulih dari sakit yang mana saya kurang berselera untuk makan, untuk mengembalikan stamina satu porsi nasi goreng Pak Min menjadi pendorong dan berkat slamet mugi enggal waras. Haha. Apaan sih. Setiap sudut warungnya, aroma dan rasa nasi gorengnya menyimpan memori kebersamaan keluarga saya berasama almarhumah mbah Uti
***
Banyak sekali yang ingin saya ceritakan soal kuliner di Temanggung. Ini membuat saya semakin rindu dan sedikit obat untuk rasa bosan yang sedang saya rasakan. Apapun itu tetap bersyukur karena masih ada rezeki untuk makan. Nah ingat itu, Tif.
Semoga bisa bertemu di tulisan selanjutnya membahas kuliner di Temanggung yang legendaris dan nikmat.
![]() |
Sebuah foto lama yang saya temukan di internet. Warung Makan Arum dekat Alun alun Temanggung. Ini merupakan penapakan warung Arum yang lama sebelum dibangun. Circa 2000an |
Tifanny Lituhayu
0 Comments