Menyikapi Kesunyian
Juli 29, 2020Ini pertama kalinya saya bisa bertahan dalam ruang kamar tanpa menyalakan kipas angin. Memasuki musim kemarau matahari memang bersinar cukup terang. Namun jika sedang mendung udara terasa cukup dingin. Bahkan di kota Gresik sekalipun.
Ruangan seketika sunyi. Kesunyian yang aneh berdengung di telinga. Sementara tetesan air di washtafel menjadi sangat gaduh. Burung yang biasanya berkicau riang kini tak ada. Sepekan lalu suami telah menjualnya, borongan 3 ekor sekaligus lengkap dengan sangkar dan ubo rampenya. Kebetulan waktu itu kartu atm raib secara misterius. Ini sih kayanya suami saya yang kurang fokus dan lupa. Maka dengan hasil jual burung burung itu kami bisa tetap membeli makan sehari hari sampai hari gajian tiba. Lagi pula sebetulnya kami berencana untuk pulang kampung.
"Kamu ga sayang dijual semua?"
"Engga kok"
Suami saya kalau sedang menyukai sesuatu bisa seharian sibuk mengurusnya. Tapi jika memang sudah waktunya berpisah, ya sudah. Toh semua itu hanya titipan dan sudah wajar jika suatu hal itu datang kemudian pergi. Yang tadinya ada, kembali ke ketiadaan. Sekalipun sudah terbiasa bersama.
Mungkin ia sudah belajar sedari dini. Mengerti apa arti kehilangan, bagaimana menyikapi kesunyian. Alih alih meratapi nasib, ia lebih memilih menerima, berdamai, dan mencintai kesunyian. Karena tidak ada yang benar benar pergi. Mereka tetap bersemayam di dalam memori dan hati.
Apakah saya bisa seperti dirinya? Jika kami harus berjauhan demi sebuah kebaikan, apakah saya bisa mengatasi rasa sunyi dan kesepian?
Kamar ini nanti akan sepi. Tidak ada lagi percakapan kami. Tidak ada canda tawa dan adu argumen lagi. Semua akan terpendam di hati. Barangkali lebur jadi ucapan rindu yang dikirimkan melalui pesan singkat maupun yang sempat diucapkan melalu telefon.
Tifanny Lituhayu
0 Comments