Hantu

Maret 10, 2020


Tidak tahu kapan persisnya saya kehilangan suara. Bukan karena pita suara terganggu. Semoga tidak pernah. Hanya saja saya kehilangan keberanian untuk bersuara, berbicara, dan berinisiatif memulai percakapan dengan seseorang di luar sana. Pada akhirnya saya kerap bagaikan hantu. Kegiatan membeli sayur menjadi cukup sunyi. Tak seperti khas ibu ibu lain. Menghampiri penjuak sayur adalah kesempatan bertemu tetangga dan berbincang. Namun tidak dengan saya yang hanya datang, memilih sayuran tanpa mengatakan sepatah katapun. Tak menatap pembeli lain, pun sekadar bertanya: masak apa hari ini? Saat semua urusan sudah selesai dan telah membayar, saya akan segera kembali dengan keheningan yang sama persis seperti ketika saya datang tadi. Saya benar benar seperti hantu. Terlebih saat kemarin sore menyadari langit begitu gelap dan jemuran belum saya angkat. Pergi ke lantai atas untuk mengambilnya. Ternyata ada seseorang yang tengah menata jemuran supaya lebih aman tak terkena hujan. Termasuk jemuran milik saya telah diangkatnya. Saat saya memungut satu pakaian yang jatuh diiringi sedikit dengus tawa yang tertahan, tetangga saya itu terperanjat. Ia sangat kaget. Tentu saja. Sore itu cukup mencekam dan kemunculan saya yang cenderung tiba tiba membuatnya sangat terkejut. Jika saya melangkahkan kaki sedikit lebih keras dan menyapanya tentu ia tak akan kaget. Namun saya hanya tersenyum dan berterima kasih karena sudah mengamankan jemuran. Tak lupa pula saya meminta maaf karena membuatnya terkejut sedemikian itu. 
***

Wejangan pertama setelah menikah dan sebelum saya bertolak ke rantau, kakak saya berpesan untuk baik baiklah dengan, tetangga. Nonggo, sing apik. Namun ternyata semua terulang lagi seperti ketika waktu kuliah dulu. Butuh waktu lama untuk beradaptasi hingga akhirnya saya memperoleh suatu momen kebersamaan yang tak terlupakan. Kendati pada akhirnya diantara semua teman satu kosan itu hanya dua yang hingga kini masih berkomunikasi. Satu diantaranya cukup akrab. Namun entah kenapa, akhir akhir ini kami lebih banyak membicaran hal yang tak begitu mendalam. Semua hanya di permukaan. Saat saya cukup terbuka dengan orang lain yang menurut saya tepat, akan ada masanya saya merasa perlu sedikit menarik diri. Ada saat ketika saya tak ingin mereka terlibat terlampau jauh dengan kehidupan saya. Cukup aneh sebenarnya. Disatu sisi saya terbuka dan ingin berbagi dengan mereka, tapi disisi lain saya tak ingin mereka mengetahui banyak hal dan terlalu sering berseliweran dikehidupan saya. Kebiasaan semacam itu seperti membuat dinding di sekitar diri saya sehingga orang lain pada akhirnya enggan untuk mendekat. Mendekat saja tidak, apalagi bertahan.

Sekarang, karena saya telah menikah, tentu saya akan memiliki seseorang yang terus saja ada dalam jangkauan. Ini perihal yang berbeda tentu saja. Pasangan hidup bagi saya adalah teman terbaik. Teman yang bisa saya ajak bicara dan tanpa ragu untuk memulai percakapan terlebih dahulu. Teman yang membuat saya merasa nyaman untuk menceritakan isi pikiran mulai dari yang rasional sampai yang paling irrasional. Dari urusan sepele sampai membicarakan konsep konsep yang cukup abstrak. Saya sangat beruntung karena ia tak pernah memotong pembiacaraan dan untuk semua halusinasi berlebihan, tanggapan awal ia hanya tertawa. Tapi itu akan menjadi bahan ledekannya betapa saya sangat berlebihan soal ketakutan yang menurutnya itu konyol. 

Sebenarnya saya tak akan segan berkisah ini dan itu jika ada yang bertanya lebih dulu. Saya akan berusaha sebaik mungkin. Namun sayangnya saya kerap merasa canggung dan kejadian konyol tak terelakkan. Belakangan saya pun seakan membangun tembok yang sangat dingin. Saya mencoba memanfaatkan garis wajah saya yang menurut bapak saya tak pernah bisa tersenyum. Maka inilah, saya berusaha terlihat menjadi dingin, galak, judes apapun itu. Terutama saat di kerumunan orang dan disana terdapat banyak sekali orang asing terutama laki laki. Saya rasa penilaian ini terlalu cepat. Namun bagi saya orang orang diluar sana tak ada yang bisa dipercaya dan semuanya payah. Hanya akan menertawakan dan meremehkan. Ramah tamah bagi mereka adalah omong kosong. Bagai lalat atau bahkan sesuatu yang tak ada. Tak perlu ditanggapi.

Semua itu saya lakukan sebab saya merasa kecewa, marah, dan merasa tak aman dengan kaum mereka. Sehingga saya ingin lebih berhati hati.

Tifanny Lituhayu
Pasuruan, 10 Maret 2020

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling