Balada Sang Puan yang Dilanda Sendu
Juli 28, 2018Hampir dua bulan isi blog ini semakin suram saja. Usai bulan ramadhan bukannya jadi ceria eh malah kembali kelam. Hihi sepertinya saya tergolong orang yang mungkin saja ikut aliran sadgenic. Apaan tuh? Kata sadgenic ini pertama kali saya baca dari sebuah caption foto kak Rahne Putri di akun instagramnya. Wahh siapa pula kak Rahne? Dulu saya mengenal namanya lewat platform musik digital, Soundcloud. Dulu sewaktu jaman masih kuliah awal awal dan sering nongkrongin Soundcloud saya menemukan akun kak Rahne ini. Dia cukup sering mengcover lagu. Suaranya pun sedap didengar. Selain menyanyi, dia juga menulis buku. Buku yang ia tulis berjudul Sadgenic. Kata sadgenic sendiri awalnya adalah judul Tumblr nya yang kemudian dibukukan. Beberapa orang kadang dapat membuat suatu karya dari pengalaman pribadi atau hal hal yang ada disekitarnya. Ada yang cukup tergugah dan peka akan keadaan itu lantas terinspirasi. Segala sedih yang mungkin dirasa atau dilihat bisa jadi pemantik untuk berkarya.
Jujur saja, mengapa blog saya ini menjadi sangat kelam ya sebab utamanya karena saya lebih mudah menuliskan sesuatu ketika merasa sedih, nelangsa, atau mengingat suatu hal yang cukup mengharukan. Melihat film atau mendengar lagu sedih juga mampu membuat emosi saya teraduk. Dari situlah saya mendapat ide dan tergerak ingin menuliskan sesuatu. Sebetulnya, tak semua yang tertulis disini memang terjadi pada diri saya. Terkadang beberapa orang salah mengerti. Coba pikirkan, beberapa penulis buku apa harus mengalami kisah yang terjadi di bukunya terlebih dahulu sebelum akhirnya ia dapat menuliskannya? Ya mungkin ada beberapa orang memang begitu. Menulis sebuah cerita maupun puisi berdasarkan pengalaman. Namun penulis adalah manusia yang bebas. Bebas menuliskan apa saja yang ada dalam pikirannya meski semua itu belum terjadi di dalam hidupnya.
Pokoknya beberapa orang punya cara berbeda dalam sebuah proses kreatif menciptakan suatu karya. Bahkan rasa sedih dan kecewa pun mampu menghasilkan suatu hal yang indah, seperti yang dilakukan oleh unit folk asal bandung, Amigdala. Nah untuk kalian yang suka mendengarkan musik indie folk, mendengar kata Amigdala pasti langsung teringat akan lagu Ku Kira Kau Rumah, bukan? Setelah beberapa waktu yang lalu merilis single Ku Kira Kau Rumah dengan MV, Amigdala mirilis sebuah EP yang bertajuk Balada Puan pada 7 Juli 2018, sudah hampir satu bulan berlalu. Ah kemana saja ya saya baru tahu Amigdala rilis EP. Pertemuan pagi ini dengan Balada Puan di Spotify cukup menggugah saya untuk kembali menulis dengan konten bertemakan musik lagi. Ehe.
Tajuk EP Amigdala ini diambil dari salah satu track nya. Sebetulnya Balada Puan adalah sebuah puisi. Ya, jadi track ini berisikan pembacaan puisi. Setelah saya dengar keseluruhan EP ini saya menyimpulkan satu hal. Bahwa Amigdala membuat satu cerita utuh dengan satu tema. Amigdala membuka kisah dengan Ku Kira Kau Rumah yang telah lahir sebagai single. Ketika EP Balada Puan lahir, track lainnya seolah mempertegas apa yang terjadi. Tentang seorang perempuan yang patah hati dan kisah cintanya yang harus usai.
- Balada Puan
- Belenggu
- Tuhan Sebut Sia sia
- Di Ambang Karam
- Ku Kira Kau Rumah
Sang puan sempat mengira, sang tuan jadi rumah bagi hatinya. Tapi ternyata bukan. Dia harus menerima kenyataan bahwa lelaki yang ia cintai rupanya milik orang lain. Ia hanya singgah sementara. Tak benar benar sungguh. Sebuah puisi Balada Puan berada di track awal. Keluh kesah sang puan tertuang dalam bait bait puisi yang sendu.
Amigdala memang lebih suka jika lagu lagu yang mereka bawakan disebut sebagai musikalisasi puisi. Beberapa lirik yang ada dalam debut EP mereka ini ditulis dari sudut pandang sang vokalis, kak Andari. Oh ya, suara vokal lelakinya menurut saya warnanya hampir mirip dengan vocalist Mustche and Beard.
Untuk track kedua yang berjudul belenggu, saya mengintepretasikannya seperti ini, ada beberapa perasaan dalam hati yang kadang kita sendiri tidak bisa mendefinisikannya. Kita bingung perasaan apakah itu dan bagaimana cara mengungkapkannya. Semua rasa itu dibiarkan tersimpan dan tak bisa terungkap. Biasanya kondisi semacam ini rentan dirasakan ketika merasa sedih dan jenuh lagi tertekan. Hmmm…
Beranjak ke track selanjutnya, Tuha. Lirik ini seperti curhatan seseorang yang telah putus asa sebab ia merasa hanya berjuang sendiri dalam mempertahankan hubungan asmaranya.
“aku mendakimu jauh sampai patah kakiSedang kau mati suri berdendang sendiri.”
Lalu ia tersadar, bahwa seolah Tuhan sedang berbicara dengan dia. Tuhan berkata, bahwa kisah yang puan jalani itu hanyalah sia sia. Kisah yang dijalani puan dan tuan, Tuhan sebut dengan kesia siaan belaka. Tak ada artinya. Untuk apa sebuah hubungan berjalan jika hanya satu orang saja yang berjuang keras mempertahankannya sedang yang lainnya tak peduli dan tak mau mengerti perjuangan kekasihnya. Sia sia.
Setelah sadar semua hanya sia sia, kini telah Di Ambang Karam. Track selanjutnya diawali denga petikan gitar yang memang telah jadi degup dan nafas EP Balada Puan. Sendu tapi beberapa ketukan iramanya dibuat seceria mungkin. Sebab kita bisa maknai setiap kesedihan menjadi awal dari sesuatu yang baik di depan sana. Siapa tahu, kan?
Di track keempat ini seolah bercerita tentang si Puan yang mulai hilang arah. Dia tak tahu harus kemana dan dia bilang, biar saja mengalir. Dia ingin ikuti arusnya…ah Puan sudah pasrah rupanya. Biar hanyut dan hilang seiring berjalannya waktu.
Puisi Balada Puan dan kisah sedih sang puan ditegaskan dalam track pamungkas, Ku Kira Kau Rumah. Tuan pamit, dan mau tak mau Puan harus melepaskan kepergian sang tuan.
“kau bukan rumah…kau bukan rumah…” bisiknya lirih. Setelah ia kira, ia benar benar menemukan sebuah rumah hati di dunia yang terasa begitu indah saat bertemu dengan sang tuan.
Puan, kiranya saya tahu apa yang engkau rasa. Sebab saya merasa menemukan dirimu dalam diri saya sendiri. Puan, teruslah berjalan. Tuhan telah siapkan sebuah rumah untuk hatimu menetap disana selamanya. Yakinlah...
-mataberdebu
0 Comments