Kembali Pada Hakikatnya
April 23, 2020
Ini kedua kalinya saya akan menjalani ibadah puasa di kota rantau. Dulu ketika saya masih kuliah ada saat dimana sebagian besar hari hari di bulan ramadhan saya habiskan di kota rantau. Kebetulan waktu itu sedang UAS. Namun di akhir pekan saya masih bisa pulang kampung, sahur dan berbuka bersama keluarga. Berbeda dengan sekarang, satu bulan kedepan saya akan tetap di Gresik dan barang kali setelah himbauan dari pemerintah agar menunda mudik, lebaran kali ini pun saya akan tetap berada disini. Tentu saja, saya merasa sedih. Sejak kunjungan pertama bapak dan ibuk ke tempat tinggal saya dan suami dI Gresik, saya belum bertemu dengan orang tua saya lagi.
Sepertinya pandemi ini mengajarkan kita banyak hal. Memaksa kita untuk introspeksi. Bahkan ketika bulan Ramadhan datang pandemi ini sama sekali tak beristirahat. Terus mengintai di setiap tempat dan kita tak bisa melihatnya tapi dampaknya terasa amat nyata.
Setiap bulan Ramadhan akan tiba kita akrab sekali dengan kebiasaan yang sudah menjadi budaya, yang orang jawa biasa menyebutnya dengan prepegan. Semua orang berdesakan di pusat perbelanjaan membeli barang kebutuhan pokok bahkan sekadar memburu diskon gila gilaan di mall. Lalu memsuki bulan ramadhan jadwal kita dipadati dengan acara buka bersama, teman sekolah, teman kuliah, komunitas, rekan kerja. Begitu banyak ajakan buka bersama. Menjelang akhir, kita kembali di rayu oleh diskon menyambut lebaran. Membeli kebutuhan lebaran seperti baju dan kue kue. Atau malah sibuk memasak kue hingga kelelahan.
Kapan waktu untuk beribadah? Sepertinya kita hanya memberikan sisa sisa waktu dimana stamina kita sudah terkuras habis untuk hal hal duniawi. Kita kehilangan esensi puasa. Mungkin kita memang puasa, tidak makan dan minum. Tapi kita masih terbutakan oleh nafsu. Kita belum sepenuhnya menahan. Maka dengan adanya pandemi ini yang mengharuskan kita tetap berada di rumah, menghindari kerumunan dan menjaga jarak, Semoga kita bisa memahami tujuan puasa yang sesungguhnya.
Selama saya menjalani ibadah puasa bersama keluarga, bapak selalu berusaha mempersiapkan segala kebutuhan untuk ramadhan. Mastikan kami memperoleh nutrisi yang cukup selama ramadhan. Yang biasanya tidak minum susu, bapak menyarakan kami untuk minum susu saat sahur. Juga hal hal lainnya seperti lauk pauk. Ada uang tambahan untuk belanja bahan masakan. Apakah hal hal itu bisa disebut terlalu jor joran dan tidak menahan diri? Apakah salah memberikan suatu halha yang istimewa saat santap sahur maupun berbuka? Jika ditanya kenapa bapak melalukan itu semua, bapak hanya punya niatan untuk menyambut dan menjalani ramadhan dengan penuh semangat, dan tubuh yang sehat. Agar lebih semangat dalam ibadah.
Pengalaman dan kebiasaan keluarga saya ini ingin saya langgengkan tapi justru menjadi perdebatan saya dan suami. Harusnya kami bersikap biasa saja seperti hari hari lain. Tidak perlu menambah anggaran. Begitu katanya.
Meskipun agak mengganjal di hati, saya kembali mengevaluasi. Mingkin benar, jika saya merasa kecewa dengan pendapat suami, berarti niat saya belum tulus. Bisa jadi itu hanya nafsu belaka yang menjadikan puasa sebagai alasan, sebagai kedok. Kita memang perlu menyambut dan mengistimewakan Ramadhan, tapi dengan cara yang benar. Yakni dengan beribadah lebih baik dari biasanya, lebih khusyu, dan menambah ibadah sunnah lainnya.
Saya tidak bermaksud menilai bahwa kebiasaan orang tua saya adalah kebiasaan yang tidak benar. Saya pikir itu wujud semangat saja. Dan di dalamnya, ada niat untuk menjadikan tubuh sehat dan kuat untuk menjalani rangakain ibadah puasa. Saya akan sangat merindukan momen kebersamaan dengan keluarga.
Saat ini saya harus benar benar berpuasa dan bersabar.
Salam rindu saya pada keluarga, pada kota kecil kelahiran saya. Semoga segala kesulitan ini lekas berlalu. Seperti janji Allah, bahwa di setiap kesulitan pasti akan ada kemudahan. Aamiin.
Tifanny Lituhayu
Gresik, 23 April 2020
0 Comments