Mencoba Minimalis: Tantangan dan Hambatan di Tempat Baru

Februari 06, 2020


Memulai kehidupan di tempat yang baru membuat saya bersemangat untuk semakin menekuni niatan hidup minimalis. Namun sampai hari ini saat saya menyapukan pandangan ke seluruh ruangan di kosan yang saya tinggali, saya merasa gagal. Rupanya rencana untuk menerapkan minimalisme di tempat tinggal baru hanya berakhir menjadi wacana.

Di malam yang cukup hening sedangkan keinginan untuk tidur masih belum juga datang, saya kembali mengevaluasi apa apa saja yang membuat saya merasa kesulitan menerapkan minimalisme disini. 

Pertama, saya tinggal bersama suami saya. Tentu barang yang ada tak hanya milik saya tapi juga milik suami. Sebelum saya datang kesini, ia sudah memiliki beberapa barang meski tak seberapa. Seperti seorang lelaki kebanyakan, ia cukup sederhana dan hanya memiliki barang barang yang penting. Melihat dari pakaian kepunyaannya, ia tak terlalu banyak menyimpan baju. Kendati demikian saat dipilah pilah kembali, saya mendapatkan dua kardus ukuran kecil yang memuat pakaian lama sudah tak pernah dipakai. Sebetulnya saya merasa sedikit terganggu soal ini. Sungguh bertentangan dengan prinsip seorang minimalist yang akan segera mengenyahkan barang tak terpakai. Kami tetap menyimpan kardus tersebut di pojok ruangan disamping rak pakaian. 

Sedangkan pakaian kepunyaan saya sendiri, saya sudah betul betul merencakan dan mastikan baju apa saja yang akan saya butuhkan dan pasti akan terpakai sebelum pindahan. Alhasil, baju milik saya sangat sedikit. Meski suami saya kerap saja mengeluhkan jatah rak yang ia miliki jauh lebih sedikit ketimbang milik saya (memakan dua tempat / kotak). Kendati demikian, percayalah, baju saya hanya ada beberapa potong saja. Dan setiap timbul keinginan membeli baju saya selalu teringat pada rak pakaian yang sudah penuh. Jadi untuk apa?

Maka untuk menerapkan menimalisme akan ada tantangan karena barang yang ada disini tak hanya diisi dengan kepunyaan saya. Sehingga saya harus tetap memperoleh izin darinya untuk melakukan pemberesan. Lagi pula menyelaraskan pendapat tak semudah itu. Meski kami cukup identik untuk beberapa kebiasaan. Tapi ternyata diantara beberapa kebiasaan itu menjadi pemicu masalah macetnya upaya minimalis (akan dijelaskan diparagraf lain).

Kedua, kunci untuk menjadikan ruangan rapi menurut buku yang saya baca* dalam pengalaman sang penulis menjadi seorang minimalis adalah menghindari perabotan dengan warna yang terlalu beragam dan mencolok. Tentu hal itu akan sangat sulit bagi kami. Mengingat kami membatasi pengeluaran untuk membeli perlengkapan rumah. Seperti rak, keranjang penyimpanan, handuk, seprai, dan perlatan dapur lainnya. Kami mendatangi pasar dan selalu mendapati barang dengan warna yang cerah. Untuk menyeragamkan pun cukup sulit. Kecuali kami mendatangi sebuah toko perabot di mall yang menyediakan peralatan yang sangat sederhana tapi harga yang dicantumkan sangat membuat kami berpikiran rumit mempertimbangkan banyak hal jika membelinya. Akhirnya kami menyerah pada produk pasar. Tapi kami berusaha tetap menyelaraskan semua. Kami memilih tema hijau dan jingga. Tapi tetap saja dapur kami masih terasa sangat penuh dan kurang rapi. 

Ketiga adalah soal hobi dan kebiasaan kami. Saya sangat terkejut ternyata suami saya punya hobi aneh seperti saya. Tapi saya merasa ia jauh lebih parah hahaha. Kami sama sama gemar mengkoleksi buku meski kami tak tahu kapan akan membacanya. Kami mempunyai sensasi kepuasan tersendiri melihat deretan koleksi buku kami. Ada rasa puas saat melihat rak penuh dengan buku. Tak peduli buku itu belum kami baca seluruhnya. Namun saya selalu berusaha untuk menuntaskan buku yang saya miliki. Maka sebagian besar buku yang saya punya sudah saya baca. Berbeda dengan suami saya. Bahkan buku yang sudah dua tahun ia miliki, belum habis ia baca. Bukan suami saya kalau tak pernah ngeles dan tak punya alasan untuk tindakannya aneh itu. Ia berkata:

Ya ga harus kita baca semuanya lah. Yang penting ada suatu hal baik yang bisa kita ambil meski baru baca beberapa halaman saja. 

Jadi menurutnya buku akan jauh lebih bermakna saat apa yang ada didalamnya dapat kita petik hikmahnya dan memiliki pengaruh pada pembacanya. Entah itu mengubah cara pandangnya atau memotivasi untuk melakukan suatu hal yang lebih baik. Ketimbang telah membaca tuntas semua buku tapi tak punya pengaruh apa apa. 

***

Saya mencoba mencari sisi lain dari segala upaya minimalis yang agak terhambat ini. Setidaknya saya sudah berusaha untuk tidak menambah kepemilikan pakaian. Kami juga berusaha hanya membeli perlengkapan yang benar benar kami butuhkan. Kendati kami melakukan penyetokan barang kebutuhan bulanan. Minimalisme biar bagaimanapun akan kalah, dengan pemikiran soal keefisienan. Kami jarang punya waktu untuk bisa berbelanja kebutuhan sehari hari, sehingga penyetokan barang kami pilih jadi solusinya. 

Harapan saya masih bisa diwujudkan jika saya benar benar mau untuk melihat sekitar dan mana saja yang harus segera dienyahkan. Semoga saja akhir pekan nanti saya bisa kembali memilah milah lagi dan menyingkirkan barang tak perlu ke tempat pembuangan :)
tidak seberapa mahal sih...

tapi kalau adan yang 27ribu dapat 3 biji ya sikat yg murah lah

Tifanny Lituhayu
* Buku: goodbye things: hidup minimalis ala orang jepang - Fumio Sasaki

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling