Serba Salah
Juni 24, 2020Setiap pagi berbagai aroma yang menyelinap melalui ventilasi selalu menjadi gangguan pertama saat saya mulai terjaga. Pagi ini aroma aneh yang sebetulnya sedikit kurang spesifik apakah itu bau amis atau terbakar, yang pasti saya cukup terganggu. Ditangan sudah siap inhaler. Memang sedari tadi malam saya menghalau aroma tak sedap yang barang kali mampir ke indra penciuman dengan benda ini. Saya termasuk orang yang cukup sensitif terhadap aroma dan kurang bisa mentoleransi aroma yang tidak sedap. Namun belakangan ini aroma masakan sekalipun yang seharusnya menggugah selera terasa memuakkan. Lagi lagi perut saya bergejolak. Saya merasa tak nyaman dan berkeringat dingin. Respon tubuh saya agak berlebihan saat ini.
Saya mendambakan suatu tempat yang tenang dan berjarak dari keramaian penduduk lainnya sehingga saya tidak harus mencium berbagai aroma masakan tetangga. Udara yang sejuk dan bersih serta dekat dengan alam. Mungkin tempat semacam ini sangat cocok untuk saya beristirahat. Akan sangat menyenangkan sembari menikmati potongan buah segar dan mendengarkan kicau burung liar dari kejauhan. Meski saat ini sering kali mendengar suara kenari yang bernyanyi nyanyi, tapi lambat laun mereka seperti suara yang amat berisik dan mengganggu. Tidak ada yang salah sebetulnya. Hanya saya saja yang sedang bermasalah.
Apakah saya harus melewati ini semua? Sampai kapan? Bagaimana caranya untuk melewatinya dengan suka cita?
Berada jauh dari orang tua dan saudara, kondisi psikologis yang kurang stabil, berbagai pekerjaan yang mesti diselesaikan, semakin membuat saya merasa sendirian. Karena sudah memasuki new normal, suami juga tidak lagi punya banyak hari libur.
Kendati kini telah berlaku apa itu yang disebut new normal dan tidak ada lagi PSBB, bagi saya untuk melangkah keluar bahkan pulang kampung masih terasa berat. Kekhawatiran itu masih menjadi beban yang amat berat. Dan apakah keadaan sepi jauh dari saudara menjadi bagian dari normal yang baru di kehidupan saya? Rasanya lebih seperti suatu yang dipaksakan untuk saya terima meski itu pahit.
Tifanny Lituhayu
0 Comments