­

Membelah Gelapnya Malam dan Sikap Bodo Amat

September 06, 2019


Sore itu setelah jam kerja usai, saya merapatkan tas ransel kemudian bergegas mandi sore. Setelah sekilas mengecek ponsel, saya, bapak dan ibu langsung meninggalkan rumah. Sore pukul 5 saya berencana untuk ke Kajoran, rumah salah seorang kawan baik satu kosan sewaktu kuliah dulu  Esok ia akan menggelar akad nikah dan walimahan. Setelah bulan Syawal lalu ia dikhitbah oleh seorang lelaki yang rupanya adalah sahabat sedari SMA. Menurut teman saya yang lain (yang lebih akrab dengan dia) kendati mereka sudah saling mengenal sejak remaja, baru satu tahun terakhir ini si lelaki itu memendam rasa pada teman saya. Jodoh itu misteri, kita tak pernah menyangka jika ternyata ia yang sering berseliweran tepat di depan hidung, atau bahkan yang tak pernah terlintas di benak sama sekali bisa jadi jodohmu.

Sejujurnya saya tidak punya gambaran pasti mengenai Kecamatan Kajoran. Hanya saja, memang dalam pikiran saya mungkin tempatnya masih asri. Berbekal arahan dari teman saya sebut saja Mei, yang sudah tiba disana terlebih dahulu, saya mantap untuk mengarahkan bapak berdasarkan peta digital. Saya lupa prinsip google map yang cerdas ini. Cara kerjanya, ia akan mencarikan rute anti macet alias bebas hambatan dan cepat. Itu artinya jalan yang dipilih adalah jalan pintas. Yang mana, jalan pintas biasanya menghindari pusat kota. Tak apa jika perjalanan dilakukan saat siang hari. Namun, jika perjalanan dilakukan pada saat sore hari menjelang petang, tentu akan menjadi lain ceritanya. Alih alih memperoleh rute yang menghemat waktu. Kami justru merasa waktu seakan berjalan lambat dan jalanan terasa makin jauh. Dikarenakan jalan yang kami lewati sepi dan gelap bukan main. Ini sih namanya perjalanan nembus alas gung liwang liwung. Untung saja waktu itu belum trending cerita KKN yang horor itu. Namun tetap saja saya merasa paranoid. Bahkan saya sempat khawatir bagaimana jika saya tersesat di dimensi yang berbeda. Ibu saya terus merapal doa, sementara bapak menjadi 3x lipat lebih fokus dalam menyetir. Setiap tikungan adalah kajutan. Setiap jembatan yang hendak kami lewati, adalah detak jantung yang terpacu amat kencang. Saya sama sekali tidak berani menengok kebelakang. Kaki mulai dingin dan lutut mulai lemas.

**
Baiklah saya ceritakan awal mulanya sebelum perjalanan horor itu terjadi. Kami meninggalkan kabupaten Temanggung menuju kabupaten Magelang melewati perbatasan Temanggung-Magelang via Tembarak-Windusari. Maghrib tiba saat kami telah sampai daerah Windusari. Maka kami istirahat untuk sholat Maghrib terlebih dahulu. Kebetulan, ada rumah kakak kelas bapak sewaktu SMEA disekitar jalan yang kami lewati. Dengan mengumpulkan memori bapak, kami tiba dirumah beliau. Sayang, teman bapak sedang ada keperluan dan belum tiba dirumah. Kami hanya bertemu dengan salah seorang anaknya yang tinggal satu rumah disitu.

Usai Sholat Maghrib kami disuguhi teh panas dan cemilan. Karena sudah telanjur tiba disini, tak enak jika tak menunggu sang nyonya rumah pulang. Meski saya gelisah karena hari makin gelap, saya berusaha tenang. Selang dua puluh menitan, teman bapak tiba dan kami hanya sempat mengobrol sejenak sebelum kami pamit melanjutkan perjalanan.

Kami sempat menanyakan ke mana arah menuju Kajoran. Kami mendapat sedikit arahan dan katanya tak lama lagi kami akan tiba. Dekat katanya...

Akhirnya saya memutuskan untuk memberikan arahan pada bapak berdasarkan Map. Menit menit berlalu dan semakin jauh kami berkendara, kami seperti masuk ke dalam hutan semakin dalam. Pasalnya, pemukiman penduduk mulai jarang. Demikian juga dengan listrik dan penerangan jalan. Satu satunya cahaya berasal dari sorot lampu mobil bapak.

Setiap tikungan adalah kejutan. Sebab suasana sangat sepi dan rasanya segala suara sudah ditelan oleh pepohonan dan bukit bukit. Tentu kami ingin segera terbebas dari suasana gelap dan sepi, sehingga bapak melajukan mobil cukup cepat. Tiap tiba ditikungan adalah saatnya untuk berhati hati bila ada kendaraan dari arah yang berlawanan.

Setiap jembatan adalah pemacu detak jantung. Gelap dan sunyi. Saya teringat akan cerita seram sepupu saya yang seorang supir ekspedisi pengantaran barang antar provinsi. Seewaktu ia melewati sebuah jembatan di daerah kabupaten Semarang, ia dikejutakan oleh penampakan seram. Waktu mendengar cerita itu saya tertawa karena masih siang bolong. Tapi cerita itu menjadi menakutkan saat saya mendapati suasana yang mirip dengan yang terjadi di cerita itu.

Sayangnya saya tak terpikir untuk mengambil gambar karena terfokus pada map dan saking gemeternya. Saat sudah hampir tiba di lokasi yang dituju, bapak mulai senewen. Saya putus asa, malahan sempat terfikir untuk putar arah saja dan batalkan rencana. Tapi bapak malah semakin marah dan mengungkit suatu hal yang membuat saya termenung. Begitu juga dengan ibuk.

***
Alhamdulillah akhirnya saya tiba dengan aman di desa tempat teman saya tinggal. Lekas lekas bapak dan ibu meninggalkan saya karena memang hanya mengantarkan. Suasana hati bapak sudah kacau dan saya merasa bersalah karenanya.

Saya tidak menyangka jikalau malam ini akan ada acara hiburan. Ada tari daerah dan dangdut semalaman. Malam itu meski acara hiburan sudah usai dan kami rebahan dikasur, tapi saya tak bisa tertidur. Mata saya sempat terpejam, tapi kesadaran tetap ada. Sehingga mata saya terasa panas saat pagi menjelang dan semuanya sudah bersiap untuk acara.

Rencana saya dan teman teman lain serta saudara sepupu si pengantin akan menjadi Bridesmaids. Itu artinya kami akan dirias dan mengenakan seragam khusus. Pagi usai menyaksikan prosesi akad nikah yang berlangsung khidmat dan lancar (saya ikutan terharu dan nangis saat mempelai pria melafalkan ijab dengan bahasa arab) kami bersiap untuk acara resepsi.

Awalnya saya setuju saja untuk dirias. Namun saya dan rahajeng sedikit terkejut saat melihat sepupu Banat dirias amat tebal. Akhirya kami berdua memutuskan merias wajah sendiri. Semuanya baik baik saja, sampai akhirnya saya baru sadar ada yang berbeda dengan tradisi walimahannya. Saat sampai pada acara istirahat makan siang, para tamu undangan dijamu makan siang bukan dengan gaya prasmanan. Saya biasa menyebutnya piring terbang. Kami, para bridesmaids bertugas untuk mengantarkan piring piring berisikan hidangan kepada tamu satu persatu. Dengan rok span lipit dan kebaya, hijab yang ketat dileher serta yang paling janggal di penampilan saya adalah bagian kaki. Saya memakai sandal gunung karena sama sekali tak punya sepatu yang lebih pantas. Siang itu saya benar benar mempertaruhakan kepercayaandiri saya sendiri. dari yang pemalu jadi bodo amat. Toh tak ada yang tahu siapa saya dan dikemudian hari belum tentu bertemu lagi. Kendati demikian, saya menyadari satu hal. Terkadang memang saya punya kecenderungan berpenampilan sedikit aneh dan ada sensasi tersendiri saat diperhatikan orang banyak. Meskipun terlihat bodoh. Saya jadi ingat sewaktu kuliah dulu. Kemanapun saya pergi, selalu berkalungkan kunci kamar kos. Bahkan ketika jam kuliah dan ada presentasi di kelas. haha benar benar tolol.

SIngkat cerita, akhirnya acara usai juga. Meski saya tidak turut serta mengantar penganting diboyong kerumah mempelai pria. Saya harus berpamitan karena khawatir tidak kebagian bus terakhir yang menuju ke Temanggung. Dengan baik hati, Ajeng bersedia mengantarkan saya ke Kota Magelang. Kami lega akhirnya bisa mengenakan pakaian biasa lagi. Saya kembali mengenakan kaos dan cardigan, dipadu dengan rok berpotongan lebar serta mencoba mengenakan pashmina. Akhirnya sandal gunung favorit saya tidak terlihat janggal lagi dengan gaya berpakaian saya. hehe.


Buat saya pengalaman kemarin sangat berharga. Tapi bila diingat lagi rasanya konyol dan malu. Berhari hari saya merasa bodoh saat ingat beberapa momen saat itu. 

Teruntuk teman saya, Banat dan suami, selamat menempuh tahap kehidupan yang baru. Semoga kalian tak hanya berjodoh di dunia tapi juga di akhirat. Menjadi pasangan suami istri yang bisa saling memahami keadaan satu sama lain. Sakinah ma wadah wa rohmah, sudah pasti itu doa kami semua. 

-Tifanny

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling