Menepi Dari Riuh
September 21, 2019Udara musim kemarau semakin gerah. Barang kali ini yang membuat orang orang berpikiran kurang waras. Sehingga mereka terkadang mengambil keputusan yang kurang pintar, kurang bijak, dan bahkan layak untuk ditertawakan. Tawa getir yang penuh dengan rasa muak. Mengapa kita tak ambil waktu sejenak untuk mendinginkan kepala. Dengan keriuhan yang terus mendera dibawah teriknya matahari. Mengapa kita tak menepi dan berteduh sejenak. Sambil mengguyur bara amarah supaya padam dan biarkan nurani yang mendamaikan.
Aku hampir saja seperti orang kebanyakan. Nyaris menyelesaikan semua dengan amarah. Nyaris saja meledak. Tapi lekas lekas aku menepi. Saat aku mencoba mundur beberapa senti dari meja kerja dan menghirup nafas dalam dalam pikiranku melayang. Hembusan panjang nafasku mengantarkan anganku pada sebuah khayalan. Seolah aku menemukanmu diantara keramaian yang biasa kau datangi tiap malam. Meski tak setiap hari. Tapi kurasa mudah untuk menemukanmu. Seolah kau lahir dari keramaian. Jika dapat diibaratkan keramaian adalah rahim yang mengandungmu berbulan bulan. Yang melahirkan dan yang selalu membuaimu. Menjadi tempatmu bertumbuh dan berkembang. Hingga aku pernah terbersit pikiran, mungkin kau tak kenal apa itu sepi. Tapi disebuah percakapan yang pernah mempertemukan kita untuk kesekian kali sekaligus menjadi sebuah epilog meski tak pernah ada prolog kau berkata. Kendatipun aku memiliki keramaian sebagai kawan baikku, tak dapat dimungkiri aku tetap merasa kesepian. Hatiku sepi.
Maka aku disini sekarang tiba disampingmu, ditengah tengah keramaian dan tanpa ragu aku genggam pergelangan tanganmu dan menariknya. Aku berlari, sambil menyibak riuh. Aku berlari tanpa ragu dan kaupun tak banyak bertanya ikut berlari mengimbangi langkah seribuku. Saat kita tiba di sebuah bukit dimana tumbuh pepohonan pinus yang menjulang tinggi, aku berhenti. Kau tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata. Kau masih menungguku. Tapi aku hanya terdiam dan melihat keatas. Ke pucuk pucuk pinus. Senyap. Hanya ada angin. Kau berdiri mendekat.
Tiba tiba aku terlempar lagi ke masa sekarang yang jelas nyata. Anganku tadi buyar. Tapi aku masih menyimpan satu nama. Namamu. Tidakkah kau kini merasa perlu menepi juga? Bagaimana harimu? Apakah kau telah merasa bahwa riuh yang selama ini berputar disekelilingmu makin lama makin mencengkrammu kuat hingga kau ingin sejenak menepi?
Tifanny
0 Comments