Melankolia

Mei 01, 2020


Sekoloni burung terbang melintas dari selatan ke utara. Sejenak mengalihkan pandangan dari sinar jingga matahari sore yang mulai surut di ufuk barat. Setelah hilang jauh dari pandangan sesuatu yang lain melintas jauh disana. Samar samar diantara awan sebuah pesawat terbang ke selatan. Sementara itu sepasang burung terbang lalu hinggap di sebuah antena televisi dan bercengkrama. Tak lama setelah itu mereka terbang lagi, menghilang dari pandangan. Barang kali pulang, kembali ke sarangnya.

Sebentar lagi petang menjelang. Namun bocah bocah masih asyik beradu dengan layang layangnya. Melayang ditingkahi angin menambah syahdu pemandangan langit yang saya lihat dari lantai atas saat mengangkat jemuran. Sengaja saya pilih waktu pukul lima kurang lima belas menit. Sudah saya tandai, semenjak kemarin secara tidak sengaja saat mengangkat jemuran pula, perhatian saya terpaku pada matahari yang hendak tenggelam. Perlahan, indah, memukau. 

Pandangan mata saya pada saujana, namun pikiran saya melesat ke kampung halaman. Betapa rindunya, ingatan terlempar pada suatu sore yang terbingkai jendela kamar. Langit sore selalu berhasil membius saya. Begitu pula sore ini. Semakin membius dan saya terjebak perasaan rindu yang teramat sangat. Saya rindu ibu saya. Saya sudah berusaha tegar tapi luluh lantak juga saat satu pesan masuk ke ponsel saya, dari ibu 
Nduk, ibu kangen. Mrebes mili...
Barang kali saya tumbuh bersama tangis, perasaan melankolis, dan sentimental. Semuanya telah menjalar, merasuk pada sel sel tubuh saya. Biarkan saya menikmati kenelangsaan ini. Saya tidak ingin lagi menyangkal atau pergi dan berpura pura semua baik baik saja. Sesekali saya ingin meresapi semuanya. Menggenggam erat perasaan haru ini.

Bu, raga ini semakin berjarak dan saya seperti terpenjara. Bu, yang tak kasat mata terkadang lebih kejam dan saya tak punya kuasa tuk melawan.

***
Saya merindukan dapur yang hangat itu, meski sempit dan banyak sekali benda benda memenuhi dapur, selalu ada hidangan nikmat yang lahir dari sana. Oleh jemari yang putih itu. Saya rindu berbagi rasa dengan ibu disela sela memasak. Hanya padanya saya sanggup mengutarakan berbagai hal. Hanya padanya saya kembali memiliki suara. 


Hari ini ibu membuat kue mendut, kudapan kesukaan. Ibu kirimkan lewat grup whatsapp keluarga. 


Mendut kesukaan tifanny, katanya...

catatan:
kue mendut adalah kue tradisional khas Jawa yang terbuat dari adonan tepung beras ketan bercampur santan. Diisi dengan enten enten atau gula jawa dan perutan kelapa. Dibungkus menggunakan daun pisang. Sebelum ditutup, mendut disiram kuah santan kental yang disebut dengan areh. Setelah itu dikukus hingga matang.

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling