My Weird Personality
Juni 07, 2020
Petang ini suasana hati saya mendadak hancur lebur. Pertama ketika saya sedang mengedit tulisan di blog ada sedikit kendala yang pada akhirnya menyebabkan tulisan saya hilang total. Awalnya saya masih punya keinginan untuk menulisnya ulang. Tapi ketika sedang bersiap menulis ulang, suami saya datang. Hari ini ia pulang terlambat. Teh yang saya buat sudah dingin. Ia terlihat lelah dan sangat kehausan karena menghabiskan segelas teh sekaligus lalu masih tambah segelas air putih. Ia mengajak saya untuk keluar membeli makan malam. Sebab masakan hari ini hanya cukup untuk sarapan saja.
Awalnya semua baik baik saja sampai ketika saya diminta untuk memesan soto. Saya agak kurang nyaman ketika penjual sotonya terlalu sibuk dan bukannya meluangkan waktu sejenak untuk mendengarkan dan memperhatikan pesanan saya. Sehingga saya merasa ragu apakah ia benar benar telah mengerti dengan pesanan saya. Kemudian saya berlalu dan duduk di samping suami. Tak berapa lama pesanan sepertinya sudah siap karena ia memberikan isyarat agar menghampiri pedagangnya dan membayar. Tapi saya tidak mau. Akibatnya ia agak kesal. Karena ia kesal saya jadi lebih kesal karena tidak dipahami. Kejadian seperti ini sudah sering kali terjadi. Kejadian dimana saya enggan untuk berinteraksi dengan orang saat hendak membeli atau membayar sesuatu. Saya selalu melimpahkan semuanya pada suami. Hanya sesekali saja saya mau melakukannya. Itupun dengan agak berat hati dan canggung.
Sepertinya saya punya keanehan dan kelainan. Namun ia terus mendorong saya supaya bisa berinteraksi dengan orang lain. Jujur saja, selama ini hingga sebelum menikah saya selalu berusaha sebisa mungkin untuk menghindari hal hal yang membuat saya merasa tidak nyaman. Saya akan mempertahankan posisi saya dalam keadaan aman ketimbang harus melakukan suatu hal yang tidak saya suka. Saya pernah beberapa kali memaksakan diri untuk berinteraksi dengan orang lain dan harus berhadap hadapan yang fokusnya memang pada saya. Keadaan saya setelah melakukan itu sangat kacau sekali. Saya merasa lelah dan selama sepekan lebih selalu teringat momen itu. Bahkan saya menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang terjadi yang membuat saya harus menerima kata kata tak enak pada saat itu. Untuk itulah beberapa hal penting yang seharusnya saya lakukan dan lalui pada akhirnya saya hindari. Terakhir saya merasa bodoh dan tidak berguna setelah interview di sebuah perusahan travel. Saya benar benar tidak cocok dengan proses yang seperti itu. Saya baru dua kali melewati interview dan semuanya sukses membuat saya jadi bubur. Maka sangat ajaib jika pada akhirnya saya bisa memiliki pekerjaan yang kemudian cocok dengan kepribadian saya. Saya hanya perlu berkomunikasi via chat dan tidak perlu bertatap muka langsung. Kendati demikian ada saatnya saya merasa canggung dan lelah luar biasa.
Saya mengulik dan berkilas balik lagi mengapa saya menjadi seperti ini dan sejak kapan? Seingat saya sedari mulai sekolah saya cukup pendiam dan menghindari obrolan. Saya juga selalu menjadi murid yang medioker agar tidak terlalu terlihat oleh guru. Saya juga selalu menghindari meja guru, ruang guru dan ruang BK. Saya hanya berinteraksi secukupnya bila memang mendesak. Itupun selalu ada kecanggungan. Begitu juga saat dengan keluarga. Ibu saya Alhamdulillah sangat memahami. Tapi bapak terkadang masih mendorong saya untuk berinteraksi.
Akar permasalahannya barang kali karena trauma masa kecil. Saya pernah dibentak oleh tetangga. Dari kecil saya sangat suka jajan dan selalu membeli sesuatu untuk bekal ke sekolah TK. Saya selalu bingung jika dihadapkan dengan banyak pilihan. Sehingga ketika saya sedang asyik melihat dan memilih tiba tiba ia membentak saya untuk segera memutuskan mau beli apa. Tak hanya itu kiranya yang menjadikan sebuah trauma. Saya pernah dimarahi budhe sampai saya menangis dan dada saya sesak. Alih alih berhenti membentak, ia justru semakin bernafsu memarahi saya. Entah berapa menit lamanya tapi saya merasa terjebak berjam jam. Saya sendiri lupa apa penyebabnya. Tapi peristiwa itu benar benar tak terlupakan dan membekas. Saya takut dan sakit hati. Kemudian saya juga menjadi korban bully selama 6 tahun di SD karena rambut saya yang keriting. Saya menjadi tidak PD dan selalu membenci fisik saya. Hal yang paling saya benci adalah berfoto. Terlebih jika berfoto bersama keluarga. Ada satu foto saat itu saya masih SD kelas 6. Saat itu keadaan fisik saya sangat parah. Rambut yang direbonding sudah setengah kembali kriting, kulit gelap kusam, berkaca mata pokoknya jelek sekali. Disitu saya berfoto dengan keluarga dan posisi bapak merangkul ibuk dan kakak yang ada disebelah saya Sedangkan saya yang berada dipinggir seakan terabaikan. Tentu alasannya tangan bapak tidak bisa menggapai bahu saya. Tapi pada saat itu saya benar benar merasa down dand melihat perbedaan yang sangat kontras antara fisik saya dengan kakak, ibuk, dan adik saya. Kakak yang ada di sebelah saya persis memiliki rambut yang lurus, kulit cerah, dan cantik. Kami berdua bagaikan si cantik dan buruk rupa. Intinya banyak hal yang membuat saya kehilangan rasa percaya diri yang berimbas ke kepribadian saya. Saya cenderung selalu menghindar dan enggan berinteraksi. Saya merasa takut dan malu. Menurut diagnosa google dan hasil pencarian keadaan ini bisa digolongkan sebagai avoidant personality disorder dimana pengidapnya akan selalu menghindari interaksi sosial karena merasa tidak nyaman. Alasannya yakni takut diejek dan tidak ingin tampak bodoh atau memalukan.
Sampai saat ini saya masih belum berniat untuk lebih berani berbicara dan berinteraksi dengan wajar seperti orang kebanyakan. Saya terus berharap agar suami bisa mengerti dengan keadaan saya. Saya sudah mencoba untuk membicarakannya tapi entahlah apakah dia menganggap hal ini serius atau hanya berfikiran bahwa saya mengada ada saja atau lebay.
Jujur saya tidak suka disalahpahami tapi saya malas jika harus berbicara panjang lebar menjelaskan jika lawan bicara saya masih bertahan dengan argumennya sendiri. Terlebih saat keputusan akhirnya membuat saya tetap harus mengikuti caranya. Jadi lebih baik diam saja.
Tifanny Lituhayu
2 Comments
Kalo aku pas kecil aslinya cerewet banget, suatu ketika aku pulang sekolah ibuku lagi nyuci baju terus aku cerita bawel banget, mungkin ibuku lagi capek banget terus jadi kesel, beliau bilang gini, kamu bisa diem dulu, gak?. Semenjak itu aku jadi anak pendiam, benar-benar pendiam. Hahaha.. Parah banget emang trauma masa kecil, dan aku tau ibuku sekarang menyesalinya.
BalasHapusHuhu iya ya padahal uda dengan semangat dan cerita menggebu gebu..
HapusMeski hanya kata kata spt itu entah kenapa bisa mengubah kepribadian. Aku juga pernah diminta diam tp sama mbah uti.
Klo sama ibuk biasanya malah dijawab dg jawaban yang menyeramkan. Dlu pas ibuk lg cabutin bulu ayam atau potong2 ayam dan keluarib jeroannya sll aku temenin tp aku cewet tanya ini itu. Jd beliau jawab: kalau kamu ngomong terus ayamnya hidup lagi lho. Bulunya bisa tumbuh lagi. Wkwkwk
Jadi pelajaran berarti kelak klo kita pny anak. Secapek apapun hrs dilayani waw😅