Menepi di Pantai Pandansari

Januari 17, 2019

Hanya berbekal daya baterai ponsel yang masih penuh dan fitur GPS, Rabu 9 Januari 2019 kami mantap untuk melakukan perjalanan ke Jogja. Kendati tergolong cukup sering mengunjungi kota tersebut, jujur saja saya belum hafal betul jalanan untuk menuju ke beberapa tempat disana. Mungkin karena hanya terbiasa menjadi penumpang yang duduk dengan pasrah saat kendaraan melaju, saya kurang mempelajari rute. Selain itu mungkin saja karena keceradasan spasial ruang saya tak seberapa. Namun untung saja, di era sekarang ini semua sudah dipermudah. Meski kami berdua tak tahu arah, setidaknya kami bisa mengandalkan GPS.

Pukul sembilan pagi usai sarapan, kami berangkat dengan mengendarai motor matic. Sebelum gas menuju Jogja, kami sempat mlipir ke pom bensin untuk isi penuh bahan bakar. Setelah keluar dari area pom, barulah saya beraksi. Tujuan hari itu sesuai rencana sebelumnya yakni ke Bantul. Sejujurnya, saya yang paling berambisi untuk mengunjungi tempat tersebut. Sedangkan partner pelesir saya hanya mengiyakan. Hehe. Kami berdua siap menuju Pantai Pandansari di daerah Bantul. Pantai ini berada di jalur pantai selatan yang letaknya berdekatan dengan pantai Parangtritis dan Pantai Goa Cemara. Sudah sekitar dua tahun terakhir ini saya punya keinginan ke tempat ini. Sederhana saja, saya ingin sekali melihat mercusuar Pantai Pandansari. Meski akhirnya pada kesempatan yang lalu saya juga pernah mengunjungi pantai yang memiliki mercusuar, tapi saya masih penasaran dengan Pantai Pandansari. Lagi pula, saya punya satu lagi destinasi yang sangat ingin saya kunjungi. Adalah ladang bunga Matahari di dekat pantai Samas.

Perjalanan panjang hanya berjeda saat sampai di daerah Sleman. Kepala saya sangat pening. Helm yang saya pakai terasa begitu ketat di kepala. Ditambah gagang kacamata terlalu menjepit. Akhirnya setelah melepas helm barang sejenak kemudian saya pakai kembali, partner  saya menyarankan untuk melepas kacamata. Hmm dilematis. Pandangan mata saya kabur saat melihat kedepan. Tapi tak apa. Toh yang menyatir dia, saya hanya mengarahkan saja berdasarkan rute di GPS.

Meski ragu karena takut salah arahan karena saya kurang bisa memantau jalan, akhirnya kami tiba juga di Batul. Kabupaten Bantul saya yakin sangat cantik. Saya hanya bisa melihat melalui pandangan mata saya yang kabur. Kala itu cuaca sedang panas sekali. Sesekali partner saya bertanya, berapa jam lagi kami akan sampai? Perjalanan ini cukup melelahkan. Pantat rasanya panas dan pegal. Tak terasa bensin mulai menipis. Sedangkan kami sudah memasuki daerah kecamatan yang sepanjang perjalanan di kanan kiri kami hanya melihat hamparan sawah hijau. Melihat di GPS pun, beberapa pom sudah jauh terlewat.

Akhirnya kami menemukan sebuah warung kecil yang menjual bahan bakar dengan takaran perbotol. Kami bertanya kepada pemilik warung tersebut tentang lokasi Pantai Pandansari. Mas pemilik warung mengatakan lokasinya sudah lumayan dekat. Ia juga memberikan arahan lokasinya. Waktu itu kami disangka mahasiswa. Kami berdua hanya tertawa. Memang sih, dua orang seusia kami santai santai melakukan perjalanan seperti ini pasti disangka mahasiswa. Mahasiswa memang maha santai kalau tidak ada jam kuliah atau serangan tugas. Saya pun tak tahu kalau memang pada waktu itu sedang musim liburnya para mahasiswa. Fakta itulah yang kelak akan mengantarkan kami pada perasaan agak kesal.

Sekitar sepuluh menit sejak kami bertolak dari warung bensin, kami mendapati sebuah gapura dengan loket tiket disebelah kiri jalan. Disana kami disambut petugas dari dinas pariwisata. Kami diberi tiket masuk kawasan wisata pantai dan diwajibkan membayar biaya retribusi sebesar lima ribu rupiah perorang. Berdasarkan arahan dari bapak petugas, jika ingin ke pantai Pandansari kami dipersilahkan berbelok ke kanan setelah melewati gapura itu. Sedangkan untuk ke ladang bunga, kami harus belok ke kiri. Dipersimpangan kami agak bimbang.

"Kemana dulu nih?" Tanya partner saya

"Duh mana ya... ladang bunga dulu deh."

Meleset dari rencana, akhirnya dengan keputusan yang sangat tiba tiba, saya memilih ke ladang bunga terlebih dahulu. Ternyata di daerah tersebut sudah dibuat semacam taman taman bunga. Tidak hanya satu lokasi, tapi ada beberapa titik lokasi. Wisatawan bisa memilih ditaman mana ingin menikmati kebun bunga dan berfoto ria. Pada awalnya keberadaan tanaman bunga matahari ini hanya sebagai pagar pelindung tanaman cabai. Para petani menanam tanaman bunga matahari disekitar kebun cabai untuk menghalau angin pantai yang terlampau kencang. Terkadang angin itu dapat merusak tanaman cabai. Sampai pada akhirnya, keindahan ladang bunga matahari itu mengundang para wisatawan untuk berkunjung ke tempat ini.

Partner saya melajukan motor dengan kecepatan rendah. Bingung mau pilih yang mana sampai akhirnya mentog ke jalanan yang sepi dan sudah tidak ada lagi taman bunga. Pada akhirnya kami berhenti di dekat pintu masuk taman bunga yang tanamannya cukup tinggi dibandingkan taman lain. Dari pengamatan saya, bunga yang tumbuh belum begitu banyak dan masih tahap tumbuh. Sebab memang belum seberapa tinggi dibandingkan dengan di foto yang tersebar di Instagram. Ah sial. Taman ini sangat ramai. Dimana mana ramai anak anak muda yang siapa lagi kalau bukan mahasiswa. Ada yang datang bergerombol semacam geng. Tak sedikit juga yang datang berdua dengan pasangannya. Hmm.

Memasuki taman, kami dikenai biaya lagi sebesar lima ribu rupiah perorang. Pengunjung juga diperkenankan untuk meminjam topi atau caping yang telah disediakan. Bukan sekadar menjadi properti tambahan untuk berfoto, topi yang saya pinjam berguna untuk melindungi dari sinar matahari yang sangat panas. Fyuhh. Saya dan partner mengambil beberapa foto sambil menahan rasa kegerahan yang luar biasa. Keringat kami bercucuran. Wajah kami pun terlihat lusuh di kamera. Ah biar saja.

Puas berfoto kami berdua keluar dari taman bunga. Selain bunga matahari ada bunga celocia yang tumbuh dissna. Tapi jika tanaman bunga mataharinya lebih lebat dan sudah lebih tinggi tentunya akan jauh lebih bagus lagi.

Perut kami keroncongan dan tenaga kami terkuras karena perjalanan. Juga karena cuaca panas yang mendera. Untung saja di sebelah parkiran banyak ibu ibu berjualan minuman dan mi cup. Kami berdua rehat sejenak sambil mengisi perut dengan mi cup. Kalau dipikirkan pasti tak terlalu kenyang. Tapi setelah dipraktekkan, ternyata kenyang juga. Alhamdulillah. Kami siap gas lagi menuju pantai Pandansari.

Berbeda dengan suasana di taman bunga tadi. Parkiran pantai jauh lebih lengang. Bahkan sepi. Disebuah parkiran yang dekat dengan warung soto dan es, hanya kami saja yang memarkirkan motor. Pada seorang nenek yang sedang sibuk mithili kenci atau selada air, kami meminta izin.

"Nderek titip nggeh mbah."

Simbah tersebut mengangguk dan mengiyakan dengan sangat ramah...

"Monggo..monggo.."

Saya mengganti pakaian dengan kaos biar nanti kalau difoto ya tidak monoton. Haha outfitnya biar beda dari yang tadi. Selesai berganti pakaian, saya dan partner berjalan menuju lantai. Pantainya lumayan curam. Ombaknya tak begitu besar. Tapi angin cukup kencang. Ah akhrinya kembali lagi ke pantai. Begitu tenang rasanya mendengar debur ombak. Gradasi warna air lautnya begitu indah. Semakin ketengah warnanya semakin biru. Garis horizonnya terlihat seperti garis batas antara laut dan langit. Warnanya biru. Namun karena cuaca sangat panas, kami berdua tidak tahan berlama lama dipantai. Memang pantai seperti ini lebih cocok di kunjungi ketika sore hari untuk melihat matahari terbenam. Yah mungkin suatu hari nanti. Jika waktu tak lagi menjadi batas bagi kami berdua.

Kami beranjak dari tepian pantai menuju hutan cemara yang ada di dekat pantai. Kami mengambil beberapa foto juga disana. Sambil berdiskusi baiknya kami ke Mercusuar berjalan kaki dari sini atau berkendara saja? Kami pun memutuskan berjalan kaki mencoba menaklukan panas matahari.

Setiba di depan bangunan mercusuar kami disambut bapak petugas kantor. Kami diperbolehkan masuk dan naik ke lantai teratas mercusuar dengan biaya masuk sebesar lima ribu rupiah, lagi. Senang karena tak ada pengunjung lain. Jadi kami bisa leluasa menuju keatas tanpa ngantri. Sama seperti waktu kunjungan saya ke Mercusuar Pantai Ketawang. Harus ada beberapa anak tangga yang mesti dilewati dan terbagi beberapa lantai. Setiap lantai terdapat dua buah jendela kecil yang memperlihatkan pemandangan luar. Sampai di puncak lagi lagi disambut dengan tangga vertikal sama persis di mercusuar pantai Ketawang. Kali ini karena saya mengenakan sandal, saya harus melepas sandal saya supaya aman. Sedangkan barang bawaan, sepertu ransel dan jaket, kami tinggal di sebelah tangga. Teman saya hanya membawa tas selempangnya untuk meletakkan ponsel.

Tiba di puncak dan ketika melihat kearah luar saya terpana. Begitu juga dengan partner saya. Baginya ini adalah kali pertama berdiri di lantai teratas mercusuar. Kami berdua disuguhi pemandangan hijau nan indah dari hutan cemara yang ada di tepi pantai. Kami juga bisa melihat laut dari ketinggian. Angin bertiup lebih kencang disini. Menerbangkan unjung kain kerudung saya. Anehnya saya tidak merasa gemetar disini. Entah kenapa. Padahal sewaktu di mercusuar pantai Ketawang saya ketakutan sekali. Mungkin saya jauh lebih rileks dan merasa nyaman. Bahkan saya bisa berdiri ditepi sambil memegang besi pembatasnya. Menatap jauh ke pucuk pucuk pohon cemara.

Diatas sana kami berdua merenung dan menyadari. Begitu kecilnya kami sedangkan karunia Alloh begitu besar tak terhingga. Lantas untuk apa kami manusia menjadi sombong? Saya juga teringat akan bencana yang terjadi tak lama sebelum ini. Yang terjadi juga di tepian pantai seperti ini. Saya sedih dan juga ada rasa takut. Perjalanan mengunjungi tempat wisata alam tak melulu soal bersuka cita. Tapi juga menjadi sarana kita untuk kembali merenung. Kembali menyadari hakikat kita sebagai manusia. Sudahkah kita bersyukur? Sejauh mana kita telah bertingkah laku. Apakah kita sudah menjadi manusia yang menebar kebaikan?
**

Kami mengakhiri kunjungan ke Bantul. Setelah sholat dhuhur dan rehat sejenak menikmati es teh manis dan sup buah, kami pun gas ke arah Kota Yogyakarta. Partner saya ini ingin sekali mampir ke Taman Sari. Saya kembali beraksi dengan GPS. hehe maklum tidak hafal jalan. Sedangkan partner saya dari luar kota. Ke Jogja baru sekali itupun ketika masih SD ada karyawisata.

Setiba di dekat komplek Taman Sari kami tak langsung masuk area Taman Sari. Kami mlipir dulu ke sebuah warung soto. Suasananya kental sekali dengan budaya Jawa khas Jogja. Namun demikian, perabotan seperti meja kursinya sangat tua dan berdebu. Tak terlalu meyakinkan warung ini. Di pojokan ada segerombol pemuda yang asyik dengan ponsel masing masing sesekali juga saya mendengar obrolan mereka. Mereka berbicara dengan bahasa jawa krama madya. Gaya keakraban yang unik sekali. Kami memesan masing masing seporsi soto. Ketika saya cicipi kuahnya...tak main main. Sotonya enak sekali. Bumbu rempah sotonya terasa. Asin gurihnya pas. Tak sesembrono tatanan tempat warung ini. Saya yakin sekali soto ini dimasak dengan sepenuh hati. Suiran ayam gorengnya pun banyak dan rasanya nikmat. Makan ditemani kerupuk, sempurnalah kenikmatan soto ini. Bukan semata mata karena perut lapar. Tapi soto ini betul betul nikmat. Yang membuat kami berdua tambah takjub, rupanya semangkuk soto ini harganya hanya 6000 rupiah!

Yuk lanjut. Kami masuk ke Taman Sari dan.....loket pintu masuknya sudah tutup. Saat itu jam menunjukkan pukul tiga sore. Saya tidak melihat dulu ke google kapan jam operasionalnya. Tapi anehnya lokasi masih ramai pengunjung. Pantang dong kami balik arah dan batal eksplorasi tempat ini. Akhirnya kami bertemu dengan seorang pemandu wisata. Beliau bersedia mengantarkan kami ke dalam dan melihat lihat bangunan yang ada di Taman Sari.

Begini ya... sebetulnya saya agak kesal dan menyesal. Seandainya saja pengetahuan saya lebih mendalam soal lokasi ini dan dimana pintu masuk yang bisa kami lewati tanpa harus bertemu dengan penjaga yang menghalang halangi, kami pasti akan lebih leluasa dan tak harus menggunakan jasa pemandu wisata. Tapi tak apalah. Yang pasti kala itu saya kurang nyaman juga karena disana sangat ramai. Banyak.sekali mahasiswa dan hanya untuk berfoto di lokasi paling kece di area masjid bawah tanah saja harus berdesakan dan mengantri..sempat nahan malu juga karena bapak pemandu wisata menyuruh orang orang agar menepi terlebih dahulu. Saat kami brrfoto puluhan mata pasang mata menatap kami berdua. Malu! Saya pikir mengunjungi tempat wisata kala itu akan lebih tenang karena musim libur sekolah sudah berakhir. Tak disangka malah kedapatan musim liburnya mahasiswa.

Kami tak tuntas menjelajahi Taman Sari, waktu juga terus beranjak sore. Usai sholat ashar kami lanjut perjalanan pulang. Baru beberapa meter motor melaju, hujan turun. Kami menepi sebentar untuk mengenakan jas hujan. Saya tidak bisa memantau GPS karena takut ponsel basah terkena hujan. Pernjalan pulang dipandu secara konvensional dengan bantuan papan penunjuk jalan.
~

Ketika pelesir seperti ini memang kita akan dihadapkan dengan sesuatu yang indah dan membuat kita tak bisa berkata kata. Namun selepas perjalanan itu, pasti akan melahirkan cerita. Itulah mengapa selepas perjalanan terjadi, saya tak bisa langsung menuliskannya. Saya masih diterpa euforianya. Baru hari ini akhirnya saya menemukan kata kata dan dapat menysunnya kembali menjadi sebuah cerita.


Selain foto saya ingin mengabadikan perjalanan saya dalam sebuah tulisan. Karena tulisan akan membantu saya mengembalikan atmosfir dan kenangan kenangan yang barang kali meredup dalam ingatan kita perlu sebuah stimulis untik membuatnya menyala lagi.

Saya ucapkan terima kasih pada partner saya yang telah membantu saya mewujudkan impian saya berkunjung ke tempat yang saya dambakan selama ini. Syukur Alhamdulillah sebab Alloh telah memberikan kesempatan pada saya. Memberikan keselamatan pada kami berdua sehingga perjalanan lancar dari berangkat sampai kembali pulang ke rumah.

Terima kasih juga pada pembaca sekalian yang sudah berkunjung dan membaca tulisan saya kali ini dari awal hingga akhir. Kalian hebat bertahan sampai titik ini ❤

Untuk itu saya berikan oleh oleh dari pelesir kami:















You Might Also Like

4 Comments

  1. Itu yg belanja di pusat oleh oleh, masih menggunakan jas hujan yg basah dan sangat menganggu tuan rumah toko dan tamu nyaa gimana ? Wkwkwkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaahahahha bener juga. Kenapa bisa sampe kelupaan. Terkonyol itu mah wkwk. Tar ditambahin deh. Terlalu fokus yg di Jogjanya trs pas nyampe perjalanan pulang jd buru buru wae mw udahan. Banyak hal yang ga perlu dijabarin jd dijabarin. Jd panjang kemana mana yak?

      Yang gokil malah kelupaan :v

      Hapus
  2. Yaaaw. Aku hebat dong baca sampai akhirrrrrr. Hahaha. Taman Sari tuhhh. Foto-fotonya 😍😍😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Alloh...dek makasih banyak uda dibaca smpe akhir. Pdhl mbulet tok ceritae. Wkwk kemana mana yg ga pntng diceritain. Kmu sangat gigih. Wkwk.

      Tp sumpah kesel bgd dek taman sari lg penuh bgd 😰

      Hapus

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling