Derau Keresahan
Oktober 31, 2019Entah di belahan bumi mana suara gemuruh itu terdengar menggelegar. Saat tiba disini hanya sayup sayup saja terdengar meski suaranya cukup membuat gentar. Suara menjadi pertanda, diiringi dengan awan kelabu yang perlahan mulai mendaulat langit. Perlahan, tetes hujan jatuh dan suara berisik atap yang dihunjam ribuan tetesan hujan di akhir Oktober ini membuat sebagian besar orang merasa lega. Ada yang mengucapkannya, ada yang meneriakkannya dalam batin, ada pula yang melayangkannya kembali ke udara. Ada yang bilang, malaikat malaikat turun ke bumi saat hujan turun. Maka tak ada salahnya memanjatkan doa ketika rintik pertamanya jatuh ke tanah. Mungkin para malaikat akan memungut doa itu. Lantas itulah mengapa ada sebagian dari manusia manusia yang hanya berdoa ketika hujan tiba, Seakan sesembahannya adalah hujan, bukan Tuhan. Ataukah hujan adalah Tuhan baginya?
Aku tak merisaukan itu semua. Aku hanya merisaukan gelap yang datang terlalu awal. Meski memang selama kemarau ini aku merasa letih diterjang hawa kering dan terik. Aku merindukan hujan dan kesegarannya. Namun aku lupa bila hujan selalu datang bersama awan mendung. Dan musim hujan artinya akan lebih banyak awan mendung dan gelap yang terasa lebih lama dari biasanya. Seolah malam datang begitu dini. Gelapku artinya malam dan sunyi. Saat aku dipeluk rasa kantuk dan jatuh tertidur pada saat itulah mimpi buruk dimulai. Sejujurnya mimpi itu telah lama berlangsung. Hanya terjeda saat fajar menyingsing dan aku terjaga. Saat aku kembali lelap, mimpi itu menghampiriku lagi. Aku lelah dihampiri oleh sosok yang masih sama. Parasnya, masih sama seperti terakhir berpapasan dengannya. Meski sekian tahun telah berlalu, seolah baru terjadi kemarin.
Kenangan itu hidup dalam mimpiku dengan cerita yang selalu baru dan berlainan. Mungkinkah mimpi mimpi itu adalah perwujudan dari satu pertanyaanku. Dimana ia saat ini? Apakah mimpi itu adalah sebuah enkripsi dari enigma rasa yang berputar di rongga dadaku? aku tak bisa membacanya meski aku mencoba menerjemahkannya. Kurangkai satu persatu agar menjadi makna yang dapat ku pahami. Semakin aku mencoba, semakin banyak malam dengan mimpi yang sama mendatangiku. Mecengkramku erat hingga aku sesak saat terjaga. Aku putus asa.
Kenangan itu hidup dalam mimpiku dengan cerita yang selalu baru dan berlainan. Mungkinkah mimpi mimpi itu adalah perwujudan dari satu pertanyaanku. Dimana ia saat ini? Apakah mimpi itu adalah sebuah enkripsi dari enigma rasa yang berputar di rongga dadaku? aku tak bisa membacanya meski aku mencoba menerjemahkannya. Kurangkai satu persatu agar menjadi makna yang dapat ku pahami. Semakin aku mencoba, semakin banyak malam dengan mimpi yang sama mendatangiku. Mecengkramku erat hingga aku sesak saat terjaga. Aku putus asa.
Demi malam yang kini telah kembali lagi. Dengan keheningan yang masih tetap sama seperti malam malam yang lalu, aku berharap agar malam ini menjadi malam yang mendamaikanku. Menghapus setiap resah dan mengakhiri rasa yang masih saja berderau hingga alam bawah sadarku. Aku ingin melebur dalam sunyinya malam. Menjadi bagian dari ketenangan.
Hapus. Hapus saja semua ingin itu. Jika tak mungkin lagi aku mengetahui tentangnya meski hanya sekali, aku akan merelakan semuanya tinggal di dasar pikiranku bersama ribuan puing masa silam yang telah usang. Jika itu yang akan membuatku tenang dan mimpiku akan kembali indah tanpa keresahan yang terus mendera.
-Tifanny
Temanggung, 31 Oktober 2019 | Akhir Oktober yang cukup basah
0 Comments