Embung Kledung di Puncak Kemarau
Oktober 09, 2019Pernahkah kau bertanya dalam perenunganmu mengapa Tuhan mencipatakan dunia dan isinya, serta berbagai penampakan alam yang indah ini? Apa fungsinya? Mungkin beberapa orang akan menjawab dengan bijak, supaya kita manusia yang terkadang lupa bersyukur ini kembali mengingat akan keagungan Tuhan. Lalu beberapa yang lainnya ada yang berkata, Tuhan menyukai keindahan. Semua itu benar. Namun jika kau tanyakan padaku, aku punya jawaban sendiri. Sebab Tuhan tahu kita perlu waktu sejenak di akhir pekan untuk rehat dari rutinitas yang melelahkan. Yang telah berkutat dengan pekerjaan yang membuat jenuh. Maka Tuhan menyuguhkan keindahan alam yang bisa kita nikmati. Keindahan alam yang mendamaikan untuk sejenak kita kembali mengisi keceriaan dan semangat yang telah memudar diterpa kejenuhan. Alam yang nyaman menjadi arena untuk bercengkrama lagi dengan sesama atau mengasingkan diri dan merenung.
-Tifanny dalam sebuah dialog dengan pikirannya sendiri saat perjalanan menuju Embung Kledung.
Jika saya tidak keliru menghitung, setidaknya tahun ini sudah tiga kali saya mengunjungi Embung Kledung. Kunjungan saya kemarin tepat saat kemarau sedang berada di puncaknya. Maka tak heran jika air di embung telah jauh berkurang ketimbang kunjungan saya sebelumnya di bulan April. Airnya sangat keruh dan berwarna hijau. Ikan yang hidup di dalamnya tak nampak dengan jelas. Kendati demikoan saya bisa melihat mereka seolah tak terpengaruh dengan keadaan embung yang seperti itu. Mereka tetap berenang dengan santai dan dalam citra yang tidak begitu jelas, ikan ikan kecil berenang cukup gesit. Saya rasa kunjungan ke embung disaat puncak musim kemarau adalah keputusan yang kurang tepat. Kecuali, jika pengunjung ingin mencari pemandangan gunung Sumbing dan Sindoro tanpa kabut, inilah saatnya.
Sejak saya tiba di Parakan (menuju Kledung) langit terlihat cerah. Saya melewati gang menuju Embung Kledung seperti biasanya tapi ternyata jalur tersebut sedang ditutup karena ada perbaikan jalan. Maka kami putar arah mencari jalan masuk yang lain. Tiba di area parkir Embung Kledung, ternyata sudah banyak sekali pengunjung. Terlihat dari banyaknya sepeda motor yang terparkir disana. Saat saya naik ke lokasi embung, saya melihat ada beberapa tenda didirikan di area yang cukup lapang. Nah, salah satu cara untuk menikmati suasana Embung meski daya tarik utamanya sedang merosot, saat kemarau seperti ini memang cocok untuk berkemah. Malam hari pasti cerah tanpa awan dan kabut sehingga memandang langit malam dengan gemintangnya pun menjadi lebih leluasa.
Pandangan saya terpaku pada gunung Sindoro yang sama sekali tidak tertutup awan. Namun saya melihat sebuah area yang tampak kering dan tandus di salah satu sisinya. Kemudian saya berpikir, apakah itu akibat dari kebakaran yang terjadi beberapa waktu lalu? Saya bertanya tanya kapan hujan segera datang. Embung sudah jauh surut, rerumputan terlihat gersang, gunung jadi tandus. Musim tembakau sudah lewat, rasanya tak akan ada lagi yang kecewa jika hujan segera datang.
Tak banyak yang saya lakukan disana. Hanya duduk dan berbincang sambil menikmati pemandangan. Sesekali burung terbang rendah ke arah embung, menempekan paruhnya ke permukaan air. Kemudian terbang lagi.
“burungnya lagi minum..”
“ya masa makan ikan..”
“lha iya.. dia yang takut sama ikannya, ikannya besar besar..”
Kami tertawa…
Saya melihat beberapa ekor burung bermain main di tepi embung. Burung kutilang, yang katanya jenis burung ini kerap sekali mengacaukan kicauan burung lain. Jika ada sebuah pertandingan kicau burung, area akan disterilkan dari kehadiran burung tersebut. Kemudian saya berfikir kenapa kutilang bisa jadi pengacau. Saat saya mendengar kicauannya saya mendapatkan jawaban.
“suaranya gampang ditiruin dan bisa bikin burung lain latah ya?”
**
Kunjungan kali ini membuat saya menyadari beberapa hal. Bahwa ternyata saya jatuh cinta pada tanah kelahiran saya. Saya kini menyatakan cinta dan mengakuinya secara sadar. Namun ironisnya, saya belum cukup mengenal kabupaten tempat saya hidup dan tinggal selama 25 tahun ini. Saya belum menjelajah cukup jauh. Mengingat harapan saya untuk bisa menjelajah Indonesia hingga ke pulau pulau seberang, agaknya terlalu muluk. Tapi tak apa, dalam sebuah buku karangan Ahmad Tohari terdapat ungkapan bahwa, harapan merupakan sebuah kebutuhan hidup. Saya ingin hidup dan menghidupi harapan. Saya hidup untuk harapan harapan agar kelak bisa terwujud.
0 Comments