Tirai yang Tersibak
Oktober 02, 2019Tidakkah apa yang mendatangiku semalam merupakan hal hal yang masih terpendam dan belum aku relakan? Ataukah mimpi itu menjadi satu pijakan awal untuk aku melepaskan segala beban? Ini saatnya, aku harus benar benar menyingkirkan semuanya. Bukan pura pura melupa dan beranjak dari sana tapi sejatinya masih menyimpan. Hanya menutupinya dengan tirai. Namun semalam sedang lengah, tirai itu tersibak dan memori memori serta pertanyaan yang selalu ingin aku ajukan tumpah ruah. Menjadi suatu mimpi yang panjang dan melelahkan.
Aku yang berkuasa atas pikiranku. Mengapa aku tak menjadi lebih tegas dan berkata pada pikiranku, hentikan! Buang saja jauh pikiran dan ingatan itu. Aku berbisik lirih pada hati dan bertanya, tidakkah kau telah melepas dan merelakan semua? Berdamailah wahai hati. Ada kehidupan yang harus kita jalani. Kita hirup dan hembuskan dengan semangat baru. Yang selalu baru. Yang selalu membuat kita senantiasa bersyukur dan berbahagia.
Aku telah selesai dengan semua itu. Masa masa yang membayangi dan membelengguku. Masa masa yang membuatku selalu ingin berteriak minta tolong tapi tercekat suaraku. Aku kini terbebas dari semua itu. Kebohongan demi kebohongan yang menggerusku perlahan telah menghancurkan aku. Lalu aku mengais sisa sisa diriku dan membangun lagi dengan harapan yang aku tambal disana sini. Hingga utusan Tuhan yang kusebut dengan waktu yang membuatku kembali pulih. Terima kasih. Dan marilah, diriku, untuk tidak merusak apa yang telah kembali pulih dengan satu memori yang belum kita singkirkan dan lepaskan. Berdamailah. Tinggalakan saja jika memang tak bisa terurai, membusuk, dan hilang. Tinggalkan dengan perasaan yang damai supaya malam malam yang ku lalui adalah malam yang damai, malam yang setiap detiknya adalah nafas yang halus dan ringan. Degup jantung yang teratur. Keheningan kan selalu membasuh setiap keadaan yang menggarang yang terjadi di waktu terjaga.
-Tifanny
0 Comments