Sebuah Proses yang Alami
Oktober 16, 2019Di suatu kesempatan yang berbahagia, pikiranku mendapatkan sebuah celah untuk kemudian sejenak aku tersedot dari alam nyata keberadaanku saat itu. Aku terlempar ke sudut ruang pikiranku yang selama ini dengan sengaja tak ku jamah. Tak pernah dengan sadar aku melangkah kesana, menyalakan sebuah pelita, lalu merenung di sudut itu. Hari itu rupanya mataku telah menerima suatu pesan yang akhirnya menuntunku masuk ke dalam sudut yang kuanggap kelam itu.
Kelopak mata itu tak lagi cerah dan lebar seperti belasan tahun yang lalu. Kerut kerut disekitarnya dan di sisi lainnya, nampak dengan jelas. Helai rambut yang berwarna putih tak hanya satu atau dua helai saja. Kali ini sinar cahaya lampu membuatku tersadar bahwa rambutnya hampir seluruhnya memutih. Perasaanku seketika diselimuti kegamangan. Aku alihkan pandanganku pada seseorang yang duduk tepat di hadapanku.
Waktu, biar bagaimanapun tak dapat memanipulasi atau dimanipulasi. Aku tak dapat berkata apapun kecuali ya, bapak tak lagi sesegar dahulu ketika aku masih cukup ringan untuk dipangku usai mengenakan pakaian yang rapi duduk bersama bapak yang juga sudah rapi dan harum kemudian ibu mengambil potret kami berdua. Lalu bapak berangkat bekerja dan baru pulang siang hari selepas dzuhur. Masih dengan kemeja yang rapi tanpa merasa lelah bapak bersedia mengantarku ke TPQ.
Bapak. Betapapun aku tahu seperti apa kerasnya bapak ketika marah dan kecewa, aku tetap dan akan selalu menaruh hormat dan rasa sayangku padanya. Aku teramat menyesal pernah memberikan hantaman hebat pada titik kekecewaan di hatinya. Meski demikian, bapak tetap pada perasaan dan sikap sikapnya seperti sebelum itu.
*
Di suatu pagi yang tak terlalu cerah juga tak mendung, bapak yang sudah bersiap dengan handuk untuk mandi, duduk sejenak mengajakku berbicara. Lebih tepatnya, beliau mengutarakan segala yang ada di pikirannya. Setiap cerita aku ikuti. Hingga terhambur begitu banyak kisah yang selama ini tak ku ketahui. Di setiap kesempatan duduk berbincang dengan bapak selalu saja ada kisah masa silam yang terungkap dan terdengar baru bagiku. Sebuah sejarah tergali dari dasar ingatan bapak. Aku kagum pada daya ingat bapak yang tak melemah. Seolah kejadian itu baru terjadi kemarin saja. Tanpa diminta menyimpulkan dan mengambil hikmah, aku belajar. Aku mempelajari dan membaca kehidupan. Seperti bapak yang kini boleh dibilang telah cukup ahli membaca setiap keadaan dan memetik hikmah. Aku mencoba mengeja kehidupan.
Bapak adalah isi dari sebagian besar kehidupanku. Kemanapun aku pergi, sejauh apapun aku melangkah, nilai nilai yang bapak ajarkan selalu mengikutiku. Langkah kakiku ditemani oleh keberanian dan kawaspadaan yang selalu bapak pesankan. Maka aku, tak mampu bayangkan bagaimana diriku saat harus menghadapi sebuah kenyataan itu nanti. Sebuah kenyataan yang tak satu orangpun mampu menampik. Sebuah takdir yang tak seorang pun mampu menafikannya. Aku dilumat habis oleh kegamangan yang membuat air mataku meleleh. Bibirku tak mampu berucap. Aku mencari celah diantara sesak yang timbul saat air mataku mulai bergulir di pipi.
"Aku takut..." kataku waktu itu. Sembari pandanganku masih lurus ke depan jauh. Entahlah. Gunung, genangan air di cekungan embung yang mulai dangkal, ataukah pucuk pucuk pohon. Bagiku semua buram. Kelebatan kenangan satu persatu hadir.
Dalam hatiku bertanya tanya. Bagaimana cara menghadapi kesedihan. Bagaimana cara menghadapi ketakutan. Apakah yang kutakutkan itu adalah takut akan hadirnya lubang besar yang kosong tiba tiba tercipta di dalam hatiku?
Kepergian nanti akan berarti sebuah kehadiran bagi kosong. Ketiadaan hal hal yang selama ini begitu akrab dan mengisi hariku. Pikiranku berkecamuk sehingga air mataku masih terus saja menguasaiku.
Aku ingin seperti mu yang tangguh menghadapi kenyataan. Menerima dengan lapang dan penuh keikhlasan sebuah kematian. Dan bilakah pelukanmu akan mampu membawaku pada kehangatan kampung halaman saat berada jauh ratusan kilo meter? Takdir telah tersusun rapi dan bila ku tak salah mengeja, Tuhan telah persiapkan segalanya untukku saat takdir itu kan datang. Ajari aku agar mencapai kesadaran penuh dan benar benar menggenggamnya di telapak akal sehatku kelak jika datang masa itu:
Kematian adalah sekadar proses alami yang langsung dikendalikan oleh Tuhan dari arsy
(Ahmad Tohari, dalam buku Di Kaki Bukit Cibalak)
_
Teruntuk kedua orang tua saya, semoga Allah SWT memanjangkan umur beliau berdua. Penuh berkah, cinta dan kasih sayang kepada putra putrinya. Semoga sehat selalu untuk terus bisa menyaksikan kami menapaki setiap tahapan hidup yang seperti tangga. Salam sungkem dan sayang, dari si tengah yang seperti tak pernah mampu beranjak dari rumah.
_
Teruntuk kedua orang tua saya, semoga Allah SWT memanjangkan umur beliau berdua. Penuh berkah, cinta dan kasih sayang kepada putra putrinya. Semoga sehat selalu untuk terus bisa menyaksikan kami menapaki setiap tahapan hidup yang seperti tangga. Salam sungkem dan sayang, dari si tengah yang seperti tak pernah mampu beranjak dari rumah.
Dan teruntuk kamu, ajari saya untuk selalu kuat dan berani.
0 Comments