Memperingati HUT 185 TMG dan Mengunjungi Bookfest 2019
November 13, 2019Bulan November adalah bulan yang cukup meriah bagi masyarakat Temanggung. Sebab akan ada berbagai acara menarik yang digelar untuk menyambut hari jadi kota Temanggung yang bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November. Bahkan sebelumnya, menjelang akhir Oktober sudah diadakan pekan raya Temanggung atau Temanggung Fair. Kendati demikian, memang segala puncak kemeriahan ada di bulan November. Maka pada Rabu, 6 November 2019 diadakan Grebeg Prakan Kota Pusaka yang menjadi sebuah penanda awal dari seluruh rangkaian acara yang akan digelar.
Tentu saya pribadi bertanya tanya, kenapa acara pembukaannya diadakan di Kecamatan Parakan, bukannya di pusat Kota Temanggung? Ternyata inilah salah satu cara pak Bupati, Al Khadziq mengajak masyarakat untuk melakukan rekonstruksi sejarah dan kembali mengingat bahwa dulu, Parakan menjadi pusat pemerintahan Kota Temanggung. Saya akhirnya baru yakin sepenuhnya bukan hanya dari cerita sana sini. Hehe jadi malu karena belum mengenal lebih jauh tentang kota kelahiran sendiri. Pak Khadziq berharap kedepannya setiap memeringati hari jadi Kota Temanggung akan dibuka dan dimulai dari Parakan.
Betapa seru saat saya mendapatkan kiriman pamflet yang berisi jadwal rangkaian acara Grebeg Parakan yang diadakan dari tanggal 6 hingga 9 November dari teman saya. Diantaranya ada kegiatan napak tilas ke tempat bersejarah yang diberi nama City Tour. Bukan main... Tentu sebagai bekas pusat pemerintahan kota Temanggung, Parakan punya beberapa bangunan dan fasilitas publik yang menyimpan sejarah. Sayang, beberapa diantaranya memang kini hanya sekadar jadi pengingat dan tak bisa difungsikan lagi sebagaimana ia dulu. Seperti Stasiun kereta yang tentu saja, kini tak ada lagi kereta api yang beroperasi melintas sampai Parakan. Jangankan Parakan, ke Magelang dan Temanggung pun sudah tidak ada, hanya tersisa jalur kereta yang sudah mati dan diatasnya dibangun rumah rumah.
Ah ya, karena kerbatasan kesempatan yang saya miliki, saya tidak bisa ikut menyaksikan kemeriahan Grebeg Parakan. Maka harapan saya tertumpu pada Bookfest 2019. Diantara semua acara menyambut HUT TMG, Bookfest adalah gelaran yang paling saya nantikan. Sebuah acara tahunan yang diadakan oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Temanggung ini memang rutin diadakan pada bulan HUT TMG di halaman Perpusda. Tahun ini, Bookfest hadir dengan tema Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial Menuju Temanggung yang Tentrem, Marem, dan Gandem. Karena memang diadakan oleh Dinas Kerasipan dan Perpuskataan, apalagi tujuan acara ini jika bukan meningkatkan minat baca masyarakat? Tapi tentu jika hanya disodorkan beberapa buku dan diharapkan mereka berminat membaca begitu saja, tidak mungkin. Maka berbagai rangkaian acara menarik turut memeriahkan gelaran ini. Lomba mewarnai, kreasi senam, festival band, tari, bahkan beberapa workshop juga diadakan. Selain itu, tak melulu soal buku, bermacam stand kuliner pun juga tersedia. Bagi saya pribadi tetap yang terpenting adalah Bazar buku dan obral besar besaran. Hehe. Senang sekali karena tahun ini standnya lebih banyak. Setidaknya ada 50 stand, 33 diantaranya merupakan stand buku, sisanya non buku dan stand komunitas.
Bookfest dibuka pada tanggal 7 November dan berakhir pada tanggal 11. Durasi 5 hari tentu lebih dari cukup. Bisa bolak balik kesana sampai 5 kali. Sangat menyenangkan, bukan? Tapi lagi lagi saya kalah oleh waktu dan kesempatan. Baru tanggal 10 bertepatan hari Minggu saya bisa mengunjungi halaman Perpusda yang bukan main padatnya. Berbeda dengan hari biasa yang terasa sepi dan terlupakan. Sejak melewati pintu masuk saya sudah bertekad untuk mengunjungi setiap stand buku yang ada dan tidak boleh terlewat satupun. Maka saya mulai dengan mengunjungi stand paling selatan yang dekat dengan pintu masuk. Betapa ramainya pagi itu, pengunjung di dominasi oleh pelajar berseragam putih abu. Mereka baru saja pulang dari sekolah untuk mengikuti upacara Hari Pahlawan. Saya pikir karena hari masih cukup pagi, mereka berkunjung ke Bookfest. Memang siswa siswi yang berkunjung kebanyakan dari sekolah MAN (Madrasah Aliyah Negeri) yang lokasinya berseberangan dengan Perpusda.
Mereka bergerombol dan berkerumun membuat saya sedikit kurang leluasa berjalan kesana kemari melihat lihat buku. Tapi saya merasa sedikit kasihan pada mereka. Sebab beberapa kali saya mendengar keluhan mereka tentang mahalnya harga buku yang hendak mereka beli. Sehingga mereka masih menimbang nimbang perlukah membelinya? Disini saya menyadari bahwa minat baca bukannya tak ada atau rendah, melainkan mereka terbatas pada nominal harga yang tertera. Bagi pelajar harga 50ribu, 70ribu atau 80ribu adalah harga yang membuat mereka berpikir ulang dan hanya mengeluh sebal saja dengan sesamanya. Itulah yang juga saya rasakan dulu. Betapa sulitnya saya mendapat buku yang saya inginkan. Selain uang saku yang pas pasan dan kurang bisa menabung, meski harganya sudah standar, tetap saja terasa memberatkan. Mungkin sekarang bisa jadi masa pembalasan bagi saya untuk diri saya sendiri di masa lalu. Hahahaha. Astagfirullah :'
Namun sebaiknya anak anak itu mau berjalan lebih jauh dan melihat lihat ke stand lain. Saya menemukan sebuah stand buku yang dijaga seorang lelaki muda yang gayanya sungguh santai dengan celana selutut, kaos obolng serta topi yang ia pakai terbalik. Namun ia sangat ramah dan sabar melayani pembeli yang bolak balik tanya harga. Sebab memang buku yang terdapat di raknya, tak punya label harga. Kalaupun ada, harganya bukan harga yang sebenarnya. "Sedang obral semua, mba.." Saya memeriksa satu persatu buku yang disusun secara horizontal dalam sebuah rak. Beberapa diantaranya terbungkus sekadarnya. Saya menduga buku itu merupakan buku preloved? Entahlah tapi banyak juga diantaranya yang masih tersegel rapi.
Saya menemukan buku Trilogi Soekram yang sudah lama sekali saya incar. Disini harganya terjun bebas ke 15ribu. Kondisinya lumayan bagus. Tidak ada yang terlipat meski tanpa segel tapi memang kertasnya agak kekuningan. Langsung saja saya ambil. Namun betapa runtuhnya (baca: ambyar) perasaan saya ketika seorang lelaki yang tadi juga menelusuri setiap ruas buku yang berjajar, mendapatkan sebuah buku yang dulu sempat ingin saya beli di sebuah platform belanja barang preloved. Buku itu gagal saya beli karena keduluan orang lain. Dan di stand itu, saya tak menyadari jika buku itu ada. Tapi sayang sudah jatuh ke tangan orang lain. Lagi lagi tidak berjodoh, lagi lagi keduluan, :')
Demi melupakan kekecewaan, saya menuju stand kuliner dan berniat membeli segelas es coklat. Melihat antriannya cukup panjang, saya beralih ke stand Thai Tea membeli green tea tanpa susu alhasil penampakannya hijau mengerikan dan kentara sekali abal abal. Haha. Kesal karena rasanya tak cukup membuat saya merasa nikmat. 15 ribu melayang begitu saja. Saya merasa kecewa dan bergegas ke stand buku tadi. Saya memutuskan untuk membeli sebuah buku lagi seharga 15 ribu. Andai saja saya tidak dengan gegabah membeli green tea bedebah itu, 15 ribu saya mungkin sudah menjadi sebuah buku. Lebih berfaedah tentunya.
Saya meninggalkan kawasan Bookfest menuju Taman Kartini. Disini berbagai macam wahana permainan anak yang entah keberadaanya sudah dengan izin atau belum, memenuhi taman. Saya agak gerah melihatnya. Tapi melihat anak anak itu ceria bermain kereta, simulasi ekskavator dalam bentuk mini, saya tak bisa tak tersenyum. Saya mengambil sebuah tempat di bawah pohon duduk di undakan dan membaca buku yang saya beli tadi. Suasana yang cukup menyenangkan dan syahdu. Semilir angin dan rindangnya pohon terasa begitu menyejukkan. Saya menghayati nikmatnya hari Minggu dan merasa puas. Di Bookfest kali ini tidak hanya lihat lihat, tapi saya bisa membawa pulang 3 buah buku, 2 diantaranya dengan harga murah tetap ori.
Saya bangga dan sangat berterima kasih kepada panitia penyelenggara Bookfest 2019 ini. Saya harap tahun tahun berikutnya yang akan datang acaranya semakin meriah. Atau jika memungkinkan, Temanggung bekerja sama dengan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah bisa lebih sering mengadakan acara semacam ini. Bazar buku murah.
![]() |
Pepohonan di Taman Kartini |
Satu yang masih kurang menurut saya. Ketersediaan tempat sampah harus ditambah lagi. Seharusnya di beberapa titik yang mudah terlihat dan dijangkau, disediakan tempat sampah. Atau jika ingin mengurangi jumlah sampah, sekalian saja diterapkan program tanpa plastik. Setiap stand kuliner dibuat seperti yang ada di Pasar Papringan, menggunakan wadah yang ramah lingkungan dan sama sekali tak ada plastik.
Untuk Kabupaten tercinta Temanggung, selamat hari jadi yang ke 185. Saya bangga menjadi warga Temanggung. Semakin kesini semakin maju dan berbagai kebutuhan sudah tersedia disini tanpa harus pergi keluar kota. Lagi pula, Bapak Bupati selalu mendukung penggiat usaha industri rumahan sekala kecil dan menengah. Selalu mendorong supaya warga lokal juga memilih produk yang dihasilkan oleh pengusaha asli Temanggung. Semenjak Kopi Posong terangkat oleh salah satu series Filosofi Kopi yang juga dipsonsori oleh Toyota, kopi kopi dari berbagai daerah di Temanggung juga ikut populer. Tentu kepopuleran beberapa kopi yang dihasilkan oleh petani Temanggung juga karena kualitasnya yang sangat baik. Dan, baru baru ini ada sebuah film horor yang berlatarkan tempat di salah satu dusun di Temanggung. Yah.. jika kawan sudah menonton film Lampor, begitulah kondisi alam Temanggung. Dan Lampor sendiri memang bagian dari cerita rakyat lokal. Saya cukup bangga akan hal ini, setidaknya Temanggung akhirnya bisa dikenal melalui sebuah film. Yah meskipun saya tidak nonton karena memang sudah berjanji untuk tak lagi menonton film horor Indonesia :)
Bonus foto:
![]() |
Pulang jalan kaki di bawah terik matahari. |
![]() |
Hutan Kota: Gumuk Lintang |
![]() |
Hasil perburuan |
Tifanny
Informasi detail acara dari berbagai sumber
Informasi detail acara dari berbagai sumber
0 Comments