Perpus Virtual dan Mencari Arti Kebebasan Melalui Novel Pasung Jiwa
November 11, 2019Saya benar benar cupu dan agak malu sebetulnya untuk berbagi pengalaman ini. Namun karena saking bahagianya saya tidak bisa menyimpannya sendiri. Hehhe. Jadi, Setelah saya merasa bahwa setahun belakangan ini cukup sering membeli buku bacaan, saya agak khawatir jika lambat laun menjadi semakin kecanduan beli dan beli. Sering kali secara impulsif tiba tiba membeli sebuah buku bacaan yang hanya bernasib menjadi pajangan di rak karena sampai berbulan bulan setelah buku itu saya beli, saya belum membacanya barang selembar. Itu bahaya sekali sebab selain menghamburkan uang, tentu hal tersebut akan membuat saya gagal menjadi seorang minimalis. Yah yah. Saya akan mengaitkan apapun dengan tekad saya soal gaya hidup minimalis. Haha. Maka terlintas sebuah cara yang sebetulnya saya malas sekali untuk melakukannya. Tapi kenapa tidak dicoba dulu? Saya memutuskan untuk mencoba mengunduh aplikasi Ipusnas. Yah itulah kenapa saya merasa malu. Sebab saya ketinggalan zaman baru coba aplikasi ini. Haha. Tapi sayang sekali, saat aplilasi tersebut sudah berhasil terunduh dan terpasang, saya tidak bisa mengakses apapun. Aplikasi tersebut sama sekali tak bisa berjalan. Apa mungkin versi android pada ponsel pintar milik saya sudah terlalu kuno? Lantas saya menghapus aplikasi Ipusnas dan beralih ke Ijak. Saya senang sebab aplikasi itu berjalan dengan baik setidaknya saya bisa melakukan registrasi dan melihat halaman utama dari Perpustakaan Virtual ini. Lantas saya mencoba untuk meminjam sebuah buku. Sebagai uji coba, saya mencari buku mbak Okky Madasari dan pilihan saya jatuh pada buku yang berjudul Pasung Jiwa.
Bagi saya yang punya gangguan penglihatan. Membaca buku dari perangkat elektronik adalah kegiatan yang menyebalkan. Saya merasa sanksi dapat menyelesaikan membaca Pasung Jiwa sampai tamat melalui Ijak. Saya mencoba untuk duduk sejenak dan membaca. Tanpa terasa sudah berpuluh halaman saya sikat habis. Berbeda saat saya membaca buku Novel yang sudah saya beli. Saya justru kerap dilanda bosan meski baru membaca beberapa lembar saja. Sampai akhirnya saya benar benar malas melanjutkan baca. Saat membaca buku yang saya pinjam di IJak ini kecepatan baca saya sepertinya lumayan meningkat. Disatu sisi mungkin saya merasa bertanggung jawab untuk segera menyelesaikan membaca, karena memang ada batas waktu untuk meminjam. Dan sebetulnya karena saya tak tahan baca buku menggunakan ponsel, saya pikir saya harus segera menyelesaikanya saja sekalian sampai tamat biar tak butuh waktu lebih lama lagi berkutat dengan buku yang tak bisa saya hirup aromanya itu. Haha. Namun disisi lain saya juga terhanyut oleh kisah yang dibangun oleh mbak Okky dengan tokoh utamanya yang sedang mempertanyakan apa itu kebebasan.
Tentang Buku Pasung Jiwa
Pengarang: Okky Madasari
Tahun Terbit: 2013
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal halaman: 328
Aku si Sasa, Saudara kembar Sasana. Kami kembar, tapi kami berbeda. Kami satu tubuh, tapi kami dua jiwa. Kami tak saling meniadakan. Kami sepasang jiwa yang merindukan. Menjadi dua bukanlah kesalahan. Menjadi satu bukanlah keharusan.Pasung Jiwa, 232
Sasana merasa terjebak dan terperangkap, ia mendambakan kebebasan. Ia ingin membebaskan pikiran, tubuh dan jiwanya. Begitu pula dengan Jaka Wani, ia terus bergulat dengan pikirannya, merasa gagal untuk memperjuangkan kebabasan dirinya maupun orang lain yang menuntut melalui sorot mata yang seolah selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Kedua tokoh tersebut dipertemukan oleh takdir, melalui berbagai macam kepelikan. Namun satu tujuan mereka, memperoleh kebebasan.
Meski buku ini cukup kontemplatif dengan membahas suatu hal yang cukup abstrak buat saya, tapi saya merasa terhanyut dalam alur ceritanya. Saya pun belajar untuk lebih empati terutama pada sosok seperti Sasana. Ia adalah penggambaran yang mungkin mewakilkan kaum sepertinya, Transgender. Bagi pengelihatan kebanyakan orang, secara sekilas Sasana telah menerjang batas wajar dan kenormalan. Ia sudah melawan kodrat. Sering kali kita menolak untuk melihat lebih jauh dan lebih memilih untuk menyalahkan. Tapi melalui sosok Sasana, saya mencoba melihat pergolakan macam apa yang dirasakannya.
Tentang Buku Pasung Jiwa
Pengarang: Okky Madasari
Tahun Terbit: 2013
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal halaman: 328
Aku si Sasa, Saudara kembar Sasana. Kami kembar, tapi kami berbeda. Kami satu tubuh, tapi kami dua jiwa. Kami tak saling meniadakan. Kami sepasang jiwa yang merindukan. Menjadi dua bukanlah kesalahan. Menjadi satu bukanlah keharusan.Pasung Jiwa, 232
Sasana merasa terjebak dan terperangkap, ia mendambakan kebebasan. Ia ingin membebaskan pikiran, tubuh dan jiwanya. Begitu pula dengan Jaka Wani, ia terus bergulat dengan pikirannya, merasa gagal untuk memperjuangkan kebabasan dirinya maupun orang lain yang menuntut melalui sorot mata yang seolah selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Kedua tokoh tersebut dipertemukan oleh takdir, melalui berbagai macam kepelikan. Namun satu tujuan mereka, memperoleh kebebasan.
Meski buku ini cukup kontemplatif dengan membahas suatu hal yang cukup abstrak buat saya, tapi saya merasa terhanyut dalam alur ceritanya. Saya pun belajar untuk lebih empati terutama pada sosok seperti Sasana. Ia adalah penggambaran yang mungkin mewakilkan kaum sepertinya, Transgender. Bagi pengelihatan kebanyakan orang, secara sekilas Sasana telah menerjang batas wajar dan kenormalan. Ia sudah melawan kodrat. Sering kali kita menolak untuk melihat lebih jauh dan lebih memilih untuk menyalahkan. Tapi melalui sosok Sasana, saya mencoba melihat pergolakan macam apa yang dirasakannya.
Sasana adalah seorang yang lahir dalam keluarga yang berkecukupan dan berpendidikan. Itulah mengapa kedua orang tuanya selalu mendorongnya untuk menjadi seorang yang gemilang. Namun sayangnya ambisi orang tuanya justru menjadi penjara pertama bagi Sasana. Ia tak bisa bebas melakukan apa yang ia suka. Meski ia berhasil menjadi pianis muda dan menjuarai berbagai perlombaan, ia hanya melakukannya semata mata hanya untuk mengikuti apa yang diarahkan orang tuanya. Tanpa kesadaran dan penghayatan ia bagaikan sebuah boneka yang diatur setiap gerak gariknya. Ia mendapatkan pengalaman pahit dan trauma mendalam ketika masuk ke sekolah khusus laki laki. Tapi ia tak bisa menuntut apapun dan harus menerima apa yang terjadi.
Pikiran kerap hanya terbangun oleh tempelan tempelan yang kita ambil atau dipaksa masuk oleh sekitar kita. Sementara tubuh selalu diperlakukan sebagai pengikut pikiran. Ia tak hadir dengan kewenangan...Sementara jiwa adalah kesadaran yang menempel dalam keberadaan manusia.
Sampai pada akhirnya ia mampu keluar dari rumahnya dan untuk pertama kali ia mendapat kebebasan. Bertemu dengan sosok dirinya yang lain. Namun sekali lagi kebebasan yang ia peroleh rupanya hanya sementara.
Novel ini juga cukup kritis mengkritisi masalah sosial yang terjadi. Seperti masalah buruh yang tak mendapat haknya. Bahkan mengangkat langsung kasus Marsinah yang kemudian didaur sedemikian rupa menjadi kisah seorang buruh bernama Marsini yang mengalami kejadian serupa dengan Marsinah. Ia tak boleh menyuarakan apa yang menjadi haknya. Ia justru harus mengalami akhir yang tragis dan gagal mendapatkan haknya.
Melalui novel ini saya menjadi terpantik untuk memikirkan hakikat kebebasan. Apakah kebebasan itu benar benar ada? Melalui beberapa tokoh yang ada dalam novel ini, saya kerap merasakan bahwa kebebasan yang semula dimiliki mereka harus terampas oleh orang lain. Saat Sasana telah bebas menjadi sosok yang mampu membebaskan pikiran, tubuh dan jiwanya untuk berada dalam satu kesadaran yang sama, ia justru mendapat penolakan, dihakimi, dilecehkan dan ia terpaksa untuk menerima kenyataan yang membuatnya hancur.
Menurut apa yang dapat saya simpulkan dari buku ini, kebebasan adalah suatu hal yang harus diperjuangkan. Ia tak akan datang dengan sendirinya. Maka, Sasana dan Jaka Wani berusaha untuk terus memperjuangkan kebebasan meski harus "mati" kemudian "hidup kembali"
Bagi saya kebebasan itu adalah ketika saya bisa mengerjakan hobi maupun kewajiban dengan perasaan nyaman dan bahagia tanpa merasa bosan. Bagi saya kebosanan adalah belenggu yang merampas kebebasan. Kebebasan bukan berarti dapat melakukan segala hal tanpa batas. Tapi kebebasan adalah bagaimana saya bisa menjadi diri saya sendiri dengan penuh kesadaran tanpa merasa dibebani apapun. Meski memang saya punya kewajiban atau berbagai tanggung jawab, tapi saat saya bisa menjalani itu semua dengan rasa bahagia dan ikhlas, disitulah saya sudah merengkuh kebebasan. Kalau menurut kalian, apa sih arti kebebasan itu?
**
Mbak Okky buat saya adalah penulis yang bisa jadi siapa saja. Dari sekian banyak judul buku yang sudah ia terbitkan, saya baru baca 5, 3 diantaranya adalah novel anak. Itu kenapa saya bilang mbak Okky bisa jadi siapa saja. Mbak Okky bisa becerita cukup vulgar tapi juga bisa lembut dan ceria menceritakan petualangan gadis kecil yang selalu ingin tahu; Matara yang senang bertualang.
Sekarang yang saya ketahui, mba Okky sedang melanjutkan studinya di luar negeri dan tengah menyusun tesis. Kabarnya dia akan segera kembali ke dunia fiksi. Itu artinya, akan ada karya baru darinya, mungkin kelanjutan kisah Matara. Semoga saja. Hehe
Tifanny
Temanggung, 11 November 2019
Temanggung, 11 November 2019
0 Comments