Menari

November 06, 2019

Photo by Ahmad Odeh on Unsplash
dari unsplash.com
Selalu ada yang terasa janggal setiap aku usai menyesap kopi. Kopi yang kuseduh ini lebih pantas kusebut dengan larutan kopi encer dengan sedikit gula yang tetap tak kuasa menyibak sensasi rasa asam. Rasa asam itu tertinggal di lidahku. Dan rasa janggal yang seakan menggelayuti dadaku terasa berat dan membuatku gelisah tiada pasti, tiada aku ketahui akan apa dan mengapa.

Setiap tegukan yang berhasil melalui kerongkonganku menciptakan kegelisahan baru. Aku mencoba mencari apa yang membuatku gelisah. Meski dugaanku mengatakan ini hanya sebuah efek samping kafein. Namun aku tetap saja mencari alasan untuk melengkapi sebab akibat perkara kegelisahan ini. Atau lebih tepatnya aku menciptakan sendiri alasan itu. Hal hal yang selama ini tertidur pulas dalam buaian kantung tidur yang berisi memori memori, perlahan bangun. Aku bangunkan mereka dan mengajak mereka menari di panggung benakku.

Memori memori dan kenangan yang tadinya tertidur kini menari riang. Justru aku yang semula mengajak mereka menari, hanya menggerakkan tubuhku sedikit sekali sembari melihat mereka yang asyik menari dengan gayanya masing masing. Aku bukanlah seorang yang pandai menggerakan tubuhku untuk menari atau sekadar mengikuti irama musik senam kebugaran. Aku teringat dulu ketika TK, SD, SMP (dan syukurlah tidak berlanjut ketika SMA) ada satu hari dalam seminggu dimana aku harus berkumpul bersama warga sekolah diperdengarkan musik  yang cukup keras dan menggerakan badan sesuai instruksi beberapa orang yang ditunjuk berdiri di posisi paling depan. Meski dibimbing dan aku dapat mencontoh gerakan mereka, sering kali aku kewalahan. Maka aku membenci kegiatan senam bersama. 

Begitu pula dengan mata pelajaran kesenian. Saat kelas satu SMP aku wajib mengikuti kesenian tari. Betapa aku merasa kasihan pada seorang temanku. Ia laki laki yang mempunyai warna kulit kuning langsat, rambutnya hitam lebat dan raut mukanya selalu datar. Meski demikian ia sangat enak dipandang. Paling tidak menurutku. Ia terlihat kaku tak bisa mengikuti gerakan tari tradisional khusus lelaki yang diajarkan guru kami. Guru itu cukup gemulai gerak geriknya untuk ukuran seorang pria. Aku sering melihat dahi temanku berkerut. Ia benar benar berfikir keras untuk menyeimbangkan gerakan dengan irama gending jawa yang mengalun dari tape. Aku menatapnya lekat dan kian larut dalam fantasiku. Sesuatu bergejolak dalam dadaku. Aku remaja perempuan kelas satu SMP tertarik pada salah seorang teman laki laki di kelasku. Bagiku saat itu yang lainnya hanya seperti bayang bayang tak berwajah. Hanya ia yang terlihat jelas dengan parasnya yang meneduhkan hatiku. Hingga tiba giliran bagi murid perempuan, lamunanku pecah. Saat betapa sulitnya mengajar kami yang terlampau kaku, guruku yang semula gemulai nan lembut berubah macam Burisrawa yang siap melumat habis lawannya. 

Aku benci pelajaran menari. Tapi ada setitik rasa bersalah karena sebagai perempuan jawa aku tak bisa menguasai satupun tarian jawa. Apakah aku dapat disebut sebagai generasi yang mematikan  kebudayaan yang sudah diwariskan turun temurun? Betapa aku tak sanggup menanggung vonis itu. Aku benci menari. Dan apakah aku sudah terlalu kebarat baratan untuk dapat menyatu dengan Bonang dan memainkannya sesuai irama? Tanganku terlalu kaku. Aku ingat saat sebuah kegiatan yang harus aku lakukan untuk menggenapi mata kuliah yang kuambil di kampus. Aku harus bekerja di sebuah desa wisata. Saat beberapa turis berdatangan, aku harus mengisi posisi penabuh bonang. Betapa memalukannya saat aku kesulitan mengimbangi pemain Saron yang lebih lincah dariku meski kami sama sama mahasiswa. Apakah dia punya pengalaman sebelumnya? Ketika SMP aku sebetulnya sudah akrab dengan pelajaran karawitan. Tapi saat itu aku hanya duduk termenung di samping kawanku yang dengan cekatan menabuh gong tiap kali guruku memberi aba aba. Selebihnya aku hanya mengamati teman temanku dan tentu saja temanku yang bersinar itu. 

Jika benar aku kebarat baratan karena tak bisa menari tarian tradisional dan menabuh bonang dengan baik, tapi mengapa aku tak kunjung punya keberanian mengajak berbincang salah satu turis yang datang? Aku hanya membisu dan ikut ikutan saja berdiri, berkumpul untuk foto bersama. Salah satu turis itu berdiri rapat disebelahku bahkan merangkul pundakku. Namun aku masih membisu. Lantas aku ini siapa? Gadis jawa yang tidak njawani, yang sok mengenal budaya populer tapi tetap saja udik dan terbelakang. 

Kenagan kenangan itu menari meliuk liuk. Semakin gemulai. Aku kini hanya diam di tengah, terduduk, membatu. Sementara kenangan kenangan itu mengibaskan sampurnya kearahku.


Tifanny
Temanggung, 6 November 2019
Di sebuah pagi yang hening diatas tiga lembar tisu. 



You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling