­

Keheningan Di Lereng Sindoro

April 21, 2019


Berada di ketinggian sekitar 2000 mdpl, segera saja saya diserang hawa dingin dan terpaan angin yang cukup kencang. Sementara hidung rasanya mendadak pilek. Saya yang sudah mengenakan kemeja lengan panjang berbahan flannel masih merasa kedinginan. Saya melapisi tubuh saya dengan jaket.

"Uda pakai lengan panjang masih pakai jaket juga"


Jujur saja, meski saya memang asli orang Temanggung, tubuh ini selalu saja tak tahan dengan hawa dingin. Namun kalau boleh memilih hawa dingin atau gerah, saya sih lebih suka dengan hawa dingin. Biar bagaimanapun, saya masih tetap bisa menikmati alam sekitar kendatipun Posong benar benar dingin.

"My Trip Tergantung Duit...!"

Sekelompok orang mengenakan kaos seragam, yang dipunggungnya bertuliskan Depokers. Rupanya ada  gathering karyawan kantor bank syariah dari Kota Depok berlibur bersama. Slogan mereka cukup membuat saya tergelitik. Namun ada benarnya juga kan. Kalau saya, selain tergantung duit, ya tergantung hari libur. Ah ya satu lagi, partner jalan.



Partner saya kali ini jauh jauh datang dari luar kota, menempuh jarak yang sangat jauh selama kurang lebih hampir tiga jam. Ditambah perjalanan ke Posong yang lumayan berat bukan hanya karena medan jalannya tapi juga iring iringan mini bus. Ia berkali kali berusaha mendahului mini bus tapi jalan yang tak cukup lebar membuat kami harus sabar menjaga jarak di belakang mini bus. Asap sisa pembakaran mesinnya memuakkan sekali. Setelah berjibaku dengan jalan berbatu, asap, dan perhitungan diluar kepala, akhirnya ia dapat menyalip mini bus hingga yang paling depan. Ternyata mini bus itu ditumpangi rombongan karyawan Bank yang saya ceritakan tadi.


Banyak perubahan yang terjadi pada Wisata Alam Posong semenjak kunjungan terakhir saya bersama dua teman saya. Entahlah kapan tepatnya. Mungkin hampir 6 tahun yang lalu. Saat itu kami masih disibukkan dengan rutinitas kuliah. Meski kami terpisah di beberapa kampus yang berbeda, saat pulang kampung kami mencoba untuk menyisihkan waktu untuk sejenak bertemu. Sangat jarang untuk bisa bersua terlebih bisa main bareng. Yah begitulah, intinya sudah cukup lama saya tidak ke Posong.

Seingat saya hanya ada tiga gazebo, selebihnya jika terus mendaki ke atas, hanya ada hutan. Posong seolah adalah tempat terakhir paling tinggi sebelum mencapai gunung Sindoro. Sebab memang lokasinga berada di kaki gunung Sindoro. Namun saat ini, jika pengunjung terus berjalan ke atas, ada sebuah gapura dan tulisan Taman Wisata, begitu serta tentu saja tiket masuk. Sebetulnya tak bisa disebut dengan sebagaimana mestinya tiket. Sebab kami, hanya akan diberi stiker sebagai ganti kami telah membayar biaya masuk sebesar 10.000 rupiah perorang. Oh ya perlu di ketahui, tiket masuk taman ini berbeda dengan tiket di gapura  ketika memasuki wilayah desa wisata Posong. Yap, jadi pengunjung akan dibebankan beberapa biaya. Tiket masuk desa wisata, parkir, dan tiket masuk lagi, ke taman wisata.

Wajar saja, mungkin tiket 10.000 adalah sebagai ganti biaya pemeliharaan lokasi wisata dan untuk kesejahteraan beberapa kru yang menjaga lokasi ini. Beberapa tahun yang lalu taman ini belum ada. Sekarang beberapa gazebo baru, aksesori semacam jembatan yang sama sekali jauh dari fungsi untuk menghubungkan dua ruas wilayah yang terpisah entah sungai atau jurang yang curam. Ia hanya menjadi pelengkap unsur estetik, sebut saja sebagai titik swafoto.

Kami hanya duduk memandang hamparan luas taman wisata yang dilatar belakangi gunung Sumbing. Sayang sekali waktu itu gunung sumbing tertutup kabut dan awan yang cukup tebal. Kami hanya berbincang beberapa kalimat, lalu hening lagi.

Sekitar jam 11 kami memutuskan untuk turun meninggalkan lokasi. Hari jumat, saatnya kaum laki laki menunaikan sholat Jumat terlebih dahulu.

Selepas sholat Jumat, kami melanjutkan perjalanan ke Embung Kledung. Haha iya, baru sekitar dua bulan yang lalu saya mengunjungi tempat itu. Embung Kledung seolah menjadi satu paket tempat wisata dengan Posong. Kalau ke Posong, belum lengkap jika belum ke Embung.

Semakin siang rupanya awan yang semula menyelimuti gunung Sumbing perlahan beranjak pergi. Tersingkaplah pemandangan nan indah dari punggung yang kokoh, si Gunung Sumbing. Hijau dan kebiruan di puncaknya. Dari sisi barat tempat kami duduk, yang merupakan lokasi paling tinggi di Embung, kami melihat Embung dari ketinggaian serta pemandangan gunung yang masih sedikit terselimuti awan. Boleh lah pemandangan ini disejajarkan dengan danau Kawaguchi yang berlatar Gunung Fuji di Jepang sana. Hehe.



Perjalanan kami tutup dengan makan siang yang sudah terlampau sore di Temanggung. Yang saya yakin meski ia hanya diam, tersenyum, dan menyangkal bahwa dirinya terlampau lapar, makan sore kala itu sudah benar benar menyelamatkannya. Haha. Tak terbayangkan oleh saya, berangkat ia hanya sarapan ringan dengan sepotong roti dan minuman. Lalu, ia harus menempuh perjalanan jauh. Wahh...


Tifanny
Menceritakan kembali 
Temanggung, 21 April 2019

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling