Telah

Agustus 01, 2019


Ia teguk sisa susu dalam kaleng yang ia genggam di tangan sembari pandangannya terpaku pada gawainya. Ibu jarinya masih sigap bergerak naik naik, scroll dan terus scroll sesekalo tap dua kali untuk meninggalkan jejak. Ia beralih ke kolom cari dan mengetikkan nama seseorang. Belum sempat ia ketuk profilnya ia terhenti termenung melihat foto profil tersebut dan mendengus menahan tawa. Jika ia diminta untuk menjelaskan perasaanya sekarang. Ia tentu hanya akan mengangkat bahunya. Entahlah. Tidak lagi ada rasa apapun, baik itu senang maupun sedih. Benci atau cinta. Rindu atau muak. Tidak ada. Semuanya kosong. Terkadang ia sendiri terheran. Mengapa hatinya kini kosong tak menyimpan rasa apapun untuk orang itu padahal dulu, hatinya terasa penuh terisi hingga tak lagi menemukan celah atau ruang yang lengang. Pun demikian dengan pikirannya. Yang selalu tentang orang itu setiap detiknya. Hingga ia lupa memberi ruang untuk dirinya sendiri. Mungkin luka, kesedihan yang mendalam telah mehancurkan semua. Luka itu cukup hebat hingga melunturkan semua. Kekecewaan yang ia rasakan.

Ia menggigit ujung roti panggangnya. Mengunyah dan masih menerawang jauh memandang keluar jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Begitu banyak hal telah ia lewati. Begitu panjang waktu yang berlalu. Seperti baru kemarin saat ia merasakan kebencian dan rasa muak yang begitu kuat saat mendengarkan sebuah lagu terputar di department store. Kakinya gemetar teringat akan orang itu yang memilih untuk beranjak, tersenyum dan tertawa dengan orang lain. Membiarkan dia sendirian tersedu. Ia tertawa. Mengingat serpihan perasaanya yang pernah berantakan. Seperti baru kemarin pula. Saat ia memutar sebuah lagu yang membuat ia menangis dan sesak. Liriknya mampu menjelaskan situasinya kala itu. Di suatu sore yang keemasan dengan hembusan angin kering yang dingin. Ia melesat seperti cahaya. Begitu cepat dan impulsif. Beberapa perasaan yang selama ini ia rahasiakan dan ia pendam, terungkap sudah pada seorang yang selama ini hanya ia pandang dari kejauhan. Seperti kerlip lampu lampu di kaki bukit yang biasa ia lihat menjelang subuh atau menjelang maghrib melalui jendela kamar. Akhirnya terungkap dan sebagai gantinya ia mendapatkan ucapan terima kasih dan maaf.

Ia mengusap mulutnya dari remah remah roti yang masih menempel. Ia bersyukur bahwa hidup akhirnya membaik. Ia berterima kasih pada Tuhan, karena kini semuanya berjalan cukup baik. Tak ada lagi luka, air mata, amarah, ia benar benar telah berdamai dengan segalanya. Ia telah memilih tenang dan kebahagiaan untuk hidupnya kali ini.

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling