Mencoba Minimalis

Oktober 03, 2019


Pernahkah kalian merasa bahagia saat menerima sebuah paket yang dibawa kurir? Rasanya seperti mendapatkan hadiah, padahal kita sendiri yang memesan barang tersebut melalui platform belanja online. Atau pulang dari sebuah toko membawa begitu banyak kantong belanja dan meski lelah, kalian merasa teramat bahagia? Kira kira berapa lama perasaan bahagia itu bertahan? Apakah keesokan hari kalian masih berasa bahagia? Apakah barang barang yang kalian beli masih dapat memicu kebahagiaan setelah memakainya belasan kali atau bahkan baru satu dua kali kalian sudah merasa bosan? Terkadang kita salah menduga perasaan kita sendiri. Lambat laun barang yang tergeletak dirumah, yang tadinya membuat kita bahagia saat  pertama kali memilikinya, justru menjadi sumber masalah, stress yang berkepanjangan, dan rasa bosan. Berarti sudah saatnya kita mencoba untuk menyingkirkan barang barang itu dan mencoba meraih kebahagiaan kita lagi. Tentunya kebahagiaan yang sesungguhnya.

Fumio Sasaki seorang lelaki berusia tiga puluhan berhasil menjalani kehidupan yang penuh rasa syukur dan kebahagiaan yang tiada tara saat ia hanya tinggal di sebuah apartemen kecil di Tokyo, memiliki tiga kemeja, empat celana panjang, empat pasang kaus kaki dan benda benda lain yang kesemuanya bisa dengan mudah ia ingat dan rincikan. Sangat berbeda dengan dirinya bertahun tahun lalu saat memiliki banyak minat dan hobi, apartemen lamanya dipenuhi berbagai benda koleksi. Namun yang terjadi ia justru tak punya waktu untuk menyelesaikan membaca buku bukunya, fokus pada hobi memotret, atau menonton film menggunakan set home theaternya. Ia melarikan diri dari rasa tertekan dengan rebahan dan mengkonsumsi minuman beralkohol. Ia terus merasa ada yang kurang dan terus membandingkan dirinya dengan orang lain. Benda benda yang dimilikinya semula untuk menunjukan eksistensinya dan agar dipandang seberapa hebat dirinya justru berbalik menguasainya. Terus menumpuk barang tanpa tahu kapan akan mengurusnya. Hingga akhrinya ia membut keputusan mengurangi kepemilikan barang. Ia sudah tak tahan lagi melihat tempat tinggalnya seperti apa yang dia sebut dalam bukunya: seperti kandang. Dalam buku Bokutachini, Mou Mono Hitsuyou Nai yang telah diterjemahkan dan diterbitkan versi Indonesianya oleh Gramedia: Goodbye Things, Hidup Minimalis ala Orang Jepang, Sasaki membagi pengalamannya dan kiat kiat apa saja untuk mencoba metode Minimalis.

Saya telah menyelesaikan buku tersebut. Bahkan saat saya baru tiba di 24 kiat dari 55 kiat berpisah dari barang, saya merasa tergugah. Sudah saatnya saya berhenti menjadi orang yang selalu menumpuk barang dan terlalu sentimental. Maka saya  tidak ingin diam dan memendamnya sendiri, melalui tulisan ini, saya ingin membagi beberapa hal yang saya dapatkan dari buku Fumio Sasaki. Sembari saya ingin memulai langkah untuk menjadi minimalis. 

Bahagia yang Sesaat
Seperti yang telah saya uraikan diatas, tentu kalian tidak akan mengelak bukan, jika merasa senang saat memiliki barang baru. Terlebih jika barang tersebut sudah kalian inginkan sejak lama. Kendatipun berang itu bukan kebutuhan primer. Hanya karena kalian ingin memiliki. Kalian pernah berpikir, sepertinya kalian akan merasa senang dan puas jika dapat memiliki barang itu. Namun coba kalian renungkan kembali, dengan mengambil satu contoh barang yang diiliki, sebut saja sebuah pakaian. Pakaian itu punya model yang sangat kekinian dan sudah kalian idamkan sejak lama. Kalian merasa bahagia saat memilikinya dan terus memakai pakaian itu sampai pada akhirnya pakaian itu terlihat biasa saja. Begitu pula dengan perasaan kita. Tidak ada rasa luar biasa lagi setelah belasan kali memakainya. Malahan saat ada seorang teman yang tiba tiba berkata, kok kamu pakai itu itu aja sih bajunya, lalu seketika kalian merasa enggan memakainya. Hal yang sama terjadi pada barang barang lain yang kita miliki. Akui saja, karena saya sudah mengakuinya terlebih dahulu hehe. Jadi, berhentilah untuk sok tahu dengan perasaan bahwa kita akan bahagia jika mendapatkan ini dan itu. Padahal jelas jelas kalian tahu bahwa barang itu bukan apa yang kalian butuhkan. Bahagia itu bisa kita raih dengan cara lain yang lebih sederhana tanpa menumpuk barang yang justru kelak kita akan merasa tertekan saat melihatnya.

Mengurangi Stress dengan Menyingkirkan Banyak Barang
Bicara soal tertekan, saya kerap sekali merasa tertekan saat melihat keadaan kamar berantakan dengan berbagai macam barang bertebaran disana sini. Juga saat ke dapur melihat piring piring belum dicuci dan berbagai peralatan masak yang belum disimpan membuat dapur yang kecil terlihat kacau balau. Saya berpikir kenapa ibuk memiliki begitu banyak peralatan masak bahkan kami tidak membuka sebuah kedai. Haha.. Lalu saat berjalan kesisi ruangan yang lain, saya melihat benda yang sudah tidak berfungsi atau difungiskan kembali dan permukaannya diselimuti oleh debu. Jadi, seharusnya kami bisa dengan mudah untuk memulai meminimalkan apa yang kami miliki. Menurut Fumio Sasaki, kita bisa memulai dengan menyingkirkan benda benda kembar dan yang memang sampah. Ketebalan debu yang menyelimuti permukaan suatu benda adalah suatu indikasi bahwa benda itu tidak akan digunakan dalam waktu dekat. Hal terpenting menjadi seorang minimalis adalah fokus pada masa kini dan menyingkirkan kata kelak. Jangan menyimpan atau membeli barang dengan alasan, kelak akan dibutuhkan. Kenapa tidak membelinya nanti jika kelak yang kita ramalkan itu benar datang? Tapi bagaimana jika tidak ada kelak? Namun kita harus tahu pasti barang barang apa saja yang mungkin saat ini belum kita butuhkan tapi bisa jadi barang tersebut menjadi sangat penting, misalnya kotak P3K.

Buang Barangnya, Bukan Kenangannya
Terkadang saat kita meluangkan waktu diakhir pekan untuk membersihkan ruangan, kita mulai untuk memilih barang apa saja yang perlu kita buang. Tapi sayangnya saat kita menemukan barang yang menyimpan kenangan manis, kita merasa urung untuk membuangnya. Jika perasaan sentimental semacam itu terus mengendalikan kita, kantong sampah kita akan kosong dan ruangan akan tetap seperti gudang. Buang sekarang juga! Membuang benda tidak sama dengan membuang kenangan. Sebab kenangan itu telah tinggal di pikiran kita. Sesungguhnya saat kita telah membuang barang, tidak akan ada rasa sesal yang berkepanjangan. Jika kamu merasa sulit untuk melakukannya, ambillah foto pada benda itu sebelum membuangnya. Dengan membuang barang, sejatinya ada yang bertambah pada diri kita. Perasaan lega dan bahagia. 

Saya adalah seorang yang sangat sentimental dan kerap merasa punya ikatan tertentu terhadap suatu benda yang saya miliki. Tentu membuang barang barang yang telah lama tersimpan di kamar tak mudah bagi saya. Saya  telah menyimpan begitu banyak buku harian yang saya tulis sedari SD, menyimpan artefak berupa kacamata kacamata yang pernah saya pakai tapi semuanya sudah rusak. Saya mengenang dan menganggap mereka adalah bagian dari diri saya. Ruangan yang dipenuhi dengan benda benda itu tak hanya menyesakkan secara fisik tapi juga psikologis. Bagaimana tidak, tiap barang yang saya lihat selalu mengembalikan memori dan membawa pikiran ke masa lalu. Pikiran saya menjadi riuh dan bahkan sulit berkonsentrasi. Maka saat saya memutuskan untuk membuang buku harian dan barang lainnya, tanpa mengenang satu persatu otomatis saya juga mencoba untuk memberikan terapi pada pikiran saya untuk lebih rileks.


Minimalis dan Ajaran Islam
Sasaki san mengaku bahwa dirinya kini lebih banyak bersyukur dan menerima apa yang telah dimilikinya dengan perasaan yang bahagia semenjak menjadi minimalis. Ia merasa tidak memerlukan apa apa lagi. Lantas saya teringat akan ajaran Islam tentang sikap dan sifat qonaah. Qonaah adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas apa yang telah diusahakan dan dimiliki. Sikap semacam ini dapat kita teladani dari teladan terbaik kita umat muslim yakni Nabi Muhammad SAW. Menurut saya baginda rasul adalah seorang minimalis sejati. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khathtab pernah menangis terharu saat melihat alas tidur Rasulullah hanya berupa tikar yang bahkan tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuhnya.

Diantara 55 Kiat Berpisah dari Barang, kiat ke 10 yang ditulis Sasaki san adalah kurangi barang barang kembar. Ini sangat sejalan dengan apa yang dikatakan Aisyah dalam sebuah riwayat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah memiliki barang berpasangan, maksudnya punya dua benda atau lebih yang sama. Beliau tidak memiliki dua baju, dua jubah atau dua pasang sandal. Saya jadi semakin kagum dengan Nabi Muhammad yang sudah lebih dulu menjalani hidup minimalis yang kini  tengah trend kembali di kehidupan masyarakat modern. Untuk itu bagi saya mencoba menjadi minimalis adalah sebuah upaya untuk kembali ke jalan yang benar sesuai ajaran Islam. Sudah seharusnya kita memiliki sifat Qonaah. Menerima apa yang sudah kita miliki dan mensyukurinya. Tidak membandingkan diri dengan kehidupan orang lain dan lebih berfokus pada hal hal yang penting.

Bagaimana Sasaki san Setelah Menjadi Minimalis dan Membuat Saya Tergugah
Selain banyak sekali kiat yang diajarkan Sasaki san, ia juga menceritakan bagaimana kehidupannya setelah menjadi seorang minimalis. Semula ia adalah orang yang selalu ingin terlihat luar biasa dimata orang lain. Benda benda yang ia miliki hampir semuanya untuk menunjukan citra dirinya. Karena alasan pencitraan itu, saat ia melihat kehidupan orang lain ia selalu saja membandingkan dengan dirinya. Ia selalu merasa kurang. Tapi semenjak ia menjadi minimalis, ia tak lagi membandingkan kehidupannya dengan orang lain sebab ia telah merasa berkecukupan dan bahagia. Ia juga tak lagi peduli dengan pendapat orang lain. Saya ingin sekali bisa sesantai ini. Tidak lagi terlalu pusin memikirkan pendapat orang lain, tren berpakaian, atau membandingkan diri dengan orang lain. Hal hal semacam ini yang terkadang memicu saya untuk membeli barang yang tidak perlu. Hanya untuk menunjang keinginan dan menunjukkan eksistensi. Saya ingin menjadi pribadi yang masa bodoh dengan pendapat orang lain dan menjadi sangat percaya diri ketika saya mengenakan pakaian yang sama kesekian kali saat bepergian. Mungkin saat mencapai fase itu saya sudah berhasil menjadi seorang minimalis. Bismillah.

Sasaki san percaya bukan benda yang membuat dirinya bahagia. Maka ia mencoba mencari kebahagiaan yang lebih hakiki. Ia menambah pengalaman dengan mendatangi tempat tempat yang belum pernah ia kunjungi. Ia bertemu banyak orang dan menjalin relasi. Hal hal semacam ini yang membuat ia lebih berbahagia. Untuk itu saya juga ingin membuka wawasan dan menambah pengalaman seperti Sasaki san.

Apartemen tempat Sasaki san tinggal tak begitu luas dan perabotannya pun sedikit. Tak adalagi televisi. Buku buku yang semula menutupi hampir seluruh permukaan lantai kamarnya, kini telah tiada. Sehingga membersihkan rumah adalah rutinitas yang sangat ringan dan menyenangkan baginya. Ia selalu bangun pagi dan rajin memberihkan ruangan, bergerak kesana kemari sehingga berat badannya turun. Suatu bonus luar biasa yang saya pun menjadi sangat tertarik. Benar, jika kita tidak lagi memiliki banyak benda, untuk sekadar membersihkan ruangan jadi lebih mudah tanpa harus mengelap ini itu, menggeser barang ini dan itu. Bersih bersih jadi lebih cepat dan menyengangkan. Saya kerap malas membersihkan ruangan karena ada banyak hal yang mesti saya kerjaan. Merapikan, mengelap, membuang, menyapu, baru mengepel. Tapi jika barang yang saya miliki sudah jauh berkurang, saya bisa lagsung ke bagian menyapu dan mengepel saja. Hehe

Keputusan dan Langkah yang Saya Ambil
Alasan yang mendasari saya untuk mecoba memulai kehidupan minimalis, selain tergugah oleh tulisan Sasaki san, saya merasa prihatin dengan diri saya sendiri. Saat mulai memiliki pekerjaan saya selalu melakukan hal hal ceroboh pada uang gaji yang saya terima. Saya membelanjakannya untuk membeli barang yang saya inginkan, bukan yang butuhkan. Saya merasa seperti balas dendam dengan diri saya yang dahulu, yang tidak bisa membeli barang yang saya inginkan karena tak punya cukup uang. Saya jadi agak takabur.

Kamar saya sudah penuh dengan berbagai barang dan terkadang saya muak melihatnya. Saya pun punya ambisi yang kuat kelak jika saya berumah tangga, saya ingin membiasakan keluarga saya untuk tidak menghamburkan uang dengan membeli barang tak penting. Saya ingin menjadi minimalis bersama keluarga kecil saya kelak. Untuk itu saya harus mulai dari sekarang.

Akhir akhir ini saya merasa pikiran ini seperti keliru dalam memproses suatu informasi. Hal hal yang seharusnya tidak saya pikirkan justru menyita sebagian besar waktu dan pikiran saya. Terlebih saat saya melihat barang barang yang mampu mengingatkan saya pada masa lalu dan kegagalan yang saya alami. Sehingga saya kurang konsentrasi untuk hal hal penting. Itu sangat melelahkan. Saya perlu mengatasi ini. Maka membuang barang dan mencoba menyederhanakan isi pikiran adalah langkah terbaik.

***
Saya, Tifanny ingin menjadi seorang minimalis. Saya tidak akan melakukan tindakan yang ekstrim dengan menyingkirkan sebagian besar barang yang sudah saya miliki sekaligus. Saya akan melakukannya secara bertahap. Mula mula saya sudah berhasil membuang benda benda yang jelas itu adalah sampah. Berikutnya saya ingin mencoba mengurangi pakaian yang ada di lemari. Pakaian yang sudah tak pernah lagi saya pakai. Tapi ada benda yang ingin selalu saya pertahankan, yakin buku buku.

Mungkin tulisan ini akan menjadi pembuka dan menandai sebagai awal perjalanan saya menuju minimalis. Saya ingin ada tulisan berikutnya yang memuat pengalaman saya berkaitan dengan minimalisme. Bismillah.

-Tifanny

You Might Also Like

4 Comments

  1. Sekitar 2 tahun lalu saya mengoleksi ratusan hotwheels, dari seri yang biasa sampai yang langka. Sekarang, hotwheels-nya tersisa 12. Sisanya saya jual dan bagikan ke ponakan. Buku juga begitu. Saya jual, giveaway, dan sekarang sisa kurang dari 30 buku di rak. Baju, sekarang baju saya cuma kaus hitam polos, dan dua celana jin. Jadi gak pernah ribet soal pakaian. Intinya, kalau ada barang di kamar yang sudah lebih dari seminggu dan gak pernah saya sentuh atau gunakan, akan saya keluarkan dari kamar. Nah kalau sudah seminggu lebih di luar kamar dan gak pernah kepikiran, akan saya jual, buang, atau kasih ke orang.

    Itu juga saya terapkan ke isi laptop saya. Kalau file di laptop itu lama tidak saya buka lagi, dan merasa tidak kehilangan apa-apa, akan saya hapus.

    Belum pernah baca buku tentang minimalism sih, tapi udah saya terapkan cukup lama. Mungkin kalau saya baca buku seperti itu, level minimalism saya akan lebih ekstrem kali ya hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah keren sekali, bang. Saya jadi makin tergugah dan semangat. Betul ya, ga cuma menerapkan buat benda benda yang terlihat dan tersentu scr fisik, tp meminilakan file di komputer juga sangat perlu. Hmm baiklah. Akan sy coba. Hehe

      Lanjutkan, bang. Haha tdk perlu trll ekstrim, sepertinya yg skrng sudah sangat bagus. :D

      Hapus
    2. Haha, ayo bikin paguyuban blogger minimalis! Hahaha

      Hapus
    3. Yuk lah, biar sy makin semangat dan istiqomah menjalankan kehidupan minimalis wkwk

      Hapus

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling