Di Ruang Pucat
Februari 14, 2021Bagian II
Melanjutkan tulisan sebelumnya: Gelombang Cinta yang Seolah Tanpa Ujung
Senin, 8 Februari dini hari
Alhamdulillah saya melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Berat badannya 3.2kg dengan panjang 50cm. Saya sangat lega dan bahagia melihatnya, sampai sampai saya langsung duduk sambil melihat bayi di gendong sang ayah. Namun tiba tiba tubuh saya menggigil hebat. Seketika udara terasa menusuk, dingin sekali. Bidan, perawat, dokter berkerumun mengelilingi saya dan meminta saya berbaring.
Bayi dipindahkan ke ruangan lain dan suami menemani disisi saya. Tekanan darah saya turun drastis. Infus kembali dipasang dan sample darah saya diambil. Bidan dan dokter terus menanyakan apakah saya masih bisa melihat dengan jelas. Suami juga diminta untuk terus mengajak saya berbicara terus supaya saya tetap dalam keadaan sadar. Saya tidak tahu jika saat itu keadaan saya cukup mengkhawatirkan.
Bidan dan dokter memijat perut saya. Mereka berkata ada sesuatu di perut saya yang masih mengganjal. Saya pikir dengan pijatan itu masalah akan teratasi. Begitu juga dengan keadaan saya yang berangsur membaik tidak lagi menggigil.
Senin Pagi
Saya cukup bersemangat karena mungkin hari ini sudah bisa pulang. Tapi saya masih berada di ruang bersalin. Padahal beberapa ibu lain yang telah selesai bersalin biasanya akan segera pindah ke kamar pasien. Rupanya saya masih harus diobservasi setelah kejadian dinI hari sebelumnya.
Menurut hasil pemeriksaan saya mengalami postpartum atau pendarahan pasca melahirkan yang disebabkan beberapa hal. Untuk kasus saya mungkin karena terjadinya robekan dan adanya sisa plasenta yang masih tertinggal. Maka, dokter akan mengambil tindakan operasi.
Runtuh. Perasaan saya runtuh, takut, dan khawatir. Baru saja saya merasa lega karena bayi telah lahir, ternyata keadaan saya justru memburuk. Memang betul, saya bahkan belum bisa duduk lagi setelah kejadian kemarin. Rasanya mata saya berkunang kunang dan tubuh saya seperti akan ambruk.
Saya tidak punya pilihan lain selain mengikuti saja alurnya.
Tindakan operasi baru bisa dilakukan di malam hari. Maka saya perlu dipindahkan dulu ke kamar pasien dan menerima transfusi darah. Entah pukul berapa persisnya saat seorang perawat menjemput dan mengantarkan saya, menggunakan kursi roda. Saat hendak turun dari ranjang, darah mengucur melewati kaki dan membasahi lantai. Saya hanya bisa pasrah padahal sebetulnya saya sangat takut dengan darah yang begitu banyak.
Saya dipersilakan berbaring di ruang bersalin terlebih dahulu untuk mengganti pakaian dengan baju operasi. Ternyata saya masih harus menunggu cukup lama disana. Hingga akhirnya seorang ibu paruh baya dengan baju hijau menjemput saya untuk menuju ruang operasi. Saat turun dari ranjang lagi lagi darah mengucur dan di sepanjang langkah menuju ruang operasi lantai ternoda darah yang menetes dari tubuh saya.
"Gapapa ya mba, terkadang terjadi hal hal yang di luar dugaan."
Ibu itu membicarakan tentang operasi yang harus saya lakukan. Benar bu, saya tidak pernah tahu jika malam itu saya harus menjalani operasi.
Ruangan itu berwarna putih. Lantai, dinding, langit langit, dan lampu yang amat terang semuanya memperlihatkan ruangan putih yang luas nyaris kosong. Ruang operasi itu hanya terdapat monitor pemantau detak jantung di pojok ruangan, meja peralatan disisi lainnya, dan terdapat meja operasi di tengah ruangan. Di meja itulah saya dibaringkan. Saya melihat sebuah lampu bundar besar menyala terang disisi kiri sebagai penerangan saat operasi berlangsung.
Dokter meminta saya duduk untuk menerima suntikan di pinggang. Tiba tiba saya merasakan aliran udara dingin dari pinggang perlahan melewati paha, kaki hingga ujung kaki. Lalu tak ada lagi yang saya rasakan. Kebas.
Entah apa yang dilakukan dokter dan dua asisten disamping kanan dan kiri. Sebuah rangka besi berbentuk persegi diletakkan diatas dada sedangkan baju operasi disibak dan diletakkan dirangka besi itu sehingga menghalangi pandangan saya ke arah perut. Saya hanya bisabisa menatap langit langit. Ingin memejamkan mata tapi ada perasaan enggan. Sambil terus merapalkan asma Allah dalam hati, saya mencoba mengalihkan fokus pada bunyi tut tut tut dari monitor pemantau detak jantung.
Pukul 10:30 saya keluar dari ruang operasi dengan keadaan kaki yang masih kaku. Si kecil sudah menanti saya di ranjang. Saya ingin segera menyusuinya.
(Bersambung ke tulisan berikutnya: Titik Zenith dan Nadir)
0 Comments