Membeku
Juli 25, 2021Aku menghirup aromanya sebelum menawarkan secangkir cappuccino dengan taburan choco granule pada suamiku tapi ia berkata "kopi instant" dengan nada menghina. Namun ia tetap menyesapnya saat utawarkan untuk yang kedua kalinya. Tak ada perubahan di raut wajahnya. Lain denganku yang merasakan kenikmatan dari kopi instant ini. Aku kembali berkutat pada laptop dan ponselku. Pekerjaan mengkoreksi dan merekap adalah hal yang memerlukan konsentrasi. Aku merasakan sentuhan di bagian belakang tubuhku. Itu suamiku yang sedang duduk dis sofa. Mencoba menjangkau tubuhku dengan kakinya. Aku bilang, jangan ganggu mas. Ia tersenyum dan melanjutkan menonton tayangan YouTube melalui smartphone yang juga tersambung handsfree. Lagi lagi ia jahil. Aku tak ingin marah marah kali ini. Aku berpaling dari laptop dan meraih handsfree dari telinga kirinya. Aku ikut menyimak apa yang ia saksikan dan dengarkan. Saat iklan lewat, aku tinggalkan. Membosankan. Cerita horor. Aku tak lagi menyukainya semenjak anakku lahir. Aku menyukai tayangan horor saat aku mengandung. Banyak hal yang tak kusukai jadi terasa menyenangkan saat itu. Aneh.
Aku melanjutkan pekerjaanku. Namun entah berapa kali aku bolak balik ke kamar dan ke ruang tengah. Ke kemar saat putriku terjaga. Ke ruang tengah lagi saat ia kembali tidur. Dan sampai malam hari, aku belum menyelesaikannya. Aku merasa muak. Aku lelah. Namun aku tak berani berkata jika aku tak mampu melakukannya. Ini sebuah tanggang jawab yang harus aku tangani.
Mataku begitu lelah dan ingin sekali terlelap. Namun sepertinya kopi instant telah menahanku. Namun tidak, bukan kopi. Malam malam belakangan ini aku susah tidur meski tak minum kopi. Pikiranku terus berputar putar. Ada banyak hal yang tak bisa aku bicarakan dengan suamiku karena menurutku itu masalah sepele. Namun aku tak yakin apakah itu cukup sepele. Karena mereka terus saja mengganggu pikiranku dan menundaku untuk segera tidur. Bahkan saat hari sudah larut sekalipun. Sepertinya aku perlu sebuah detoks. Aku perlu menangis untuk melepaskan semua tapi aku tak punya alasan kuat untuk itu. Aku mencari cara, mungkin aku bisa menonton film drama. Aku bisa menangis karenannya.
Drama ini ternyata membuatku berfikir. Sang tokoh utama kehilangan orang terkasih tapi ia tak bisa menangis maupun bersedih. Ia pun berpikir bahwa ia tak sungguh sungguh mencintai istrinya yang telah meninggal. Ia mulai berbuat aneh. Aku kira, ia sudah mencapai kesedihan yang amat sangat. Itu membuatnya tak lagi bisa menangis. Ia membeku karena kesedihan yang mendalam.
Apakah aku juga begitu? Aku ingin membicarakan semua yang berputar di kepalaku yang mungkin ini telah menjadi sebuah gunung kesedihan. Namun aku merasa itu bukan suatu hal yang penting. Ah aku bingung.
Perbedaan sikap orang tuaku. Mereka tak menghargaiku dan memperlakukan aku sama seperti dua anaknya yang lain. Aku merasakan ini bukan sebatas perasaan atau prasangka. Aku bertanya pada adikku, apakah bapak pernah marah dan main tangan? Katanya segalak apapun bapak beliau tak pernah main tangan. Aku kurang setuju. Bapak pernah menarik tubuhku dengan menjambak rambutku. Kejadian itu tak pernah bisa aku lupa.
Suamiku tak mau menatapku saat aku bercerita dan selalu menatap ponsel atau mengalihkan. Sendiri mengasuh anak saat suami bekerja. Aku ingin kuat. Aku tak ingin memunculkan ekspektasi apapun agar aku tak kecewa. Namun jujur saja. Itu berat. Dan sederet hal hal yang ingin kuhindari untuk ku katakan. Sebab apapun yang kuungkapkan akan memunculkan hal yang bahkan tak aku sangka dan maksudkan.
Mengapa ini begitu melelahkan. Aku hanya ingin menangis tapi tak bisa.
0 Comments