Rabu Kelabu
Juli 07, 2021Terkadang saya merasa begitu rapuh dan mudah sekali runtuh. Seharusnya diusia saat ini saya sudah lebih kebal dengan nada nada keras, hardikan, dan amarah. Lebih lebih jika itu datangnya dari bapak. Seharusnya saya sudah menjadi batu karang yang kokoh. Sebab dua puluh tujuh tahun sudah tinggal disini. Dua puluh tujuh tahun sudah saya mengenal bapak. Ya ... Saya kira saya mengenalnya. Tapi ternyata tidak juga. Bapak adalah lautan. Saya belum seperti ibu yang setegar batu karang. Diterpa ombak bertahun tahun tak goyah. Malah makin kokoh. Namun setidaknya hanya saya satu satunya anak bapak yang bertahan disini. Yang lainnya, pergi sudah. Merantau jadi alasan. Ah padahal bapak masih cukup lembut dengan kakak dan adik. Hardikan yang saya dengar tadi, cacian yang seperti tadi, saya begitu yakin hanya bapak lontarkan pada saya. Tidak untuk yang lain semarah apapun bapak.
Kesalahan yang saya perbuat sudah melampaui batas dan sampai saat ini masih belum bisa dimaafkan barang kali. Seandainya saja saya tidak pernah memutuskan untuk kuliah. Tentu bapak tak perlu membuang banyak uang. Tak perlu merasa rugi.
Seharusnya saya bisa membayar hutang hutang saya pada bapak. Karena bagi bapak segalanya harus saling. Segalanya adalah investasi yang harus ada hasilnya. Seandainya biaya yang sudah bapak keluarkan selama saya hidup, bisa saya lunasi.
Mengapa saya ada dan membebani bapak?
Kadang saya menyesali jalan hidup ini.
Namun ketika saya melihat wajah Ibu, Suami, anak saya, saya merasa beruntung sekali berada diantara mereka.
Bapak. Hanya bapak yang membenci saya. Ataukah saya yang tak pernah mengertinya?
0 Comments