Yang Abadi Dalam Ingatan
Maret 18, 2024Masih terasa begitu segar dalam ingatan saya di tiap tiap momen terakhir bersamanya. Hari hari dimana saya merasa harus tegar dan menekan segala kesedihan serta hati yang rapuh. Saya ingat peristiwa 23 tahun yang lalu. Tak biasanya bapak telah berada di depan gerbang SD di atas sepeda motornya menanti saya pulang. Padahal biasanya saya selalu pulang berjalan kaki ke rumah sendirian.
"Ke rumah sakit ya.. Kita tengok adek."
"Adek sudah bisa ditengok, pak?"
"Lihat saja nanti disana."
Tanpa terlebih dahulu pulang dan mengganti seragam pramuka yang saya kenakan waktu itu, kami menuju rumah sakit. Saya lupa sudah berapa lama adek dirawat di RSU Temanggung. Saya tak lagi menghitung waktu itu dan sudah terlalu jenuh dengan keseharian yang mendadak kacau balau. Ibu jarang di rumah untuk menyiapkan kami sarapan. Rumah menjadi sepi dan dingin tanpa keceriaan si bungsu, adik kami.
Sepeninggal mbah uti tak kurang dari 40 hari adek tiba tiba mengalami demam tinggi yang membuatnya hilang kesadaran. Saya masih ingat bagaimana raut wajahnya. Bocah umur 3 tahun itu hanya terbaring lemas dengan mata yang tak sepenuhnya tertutup. Sedang nafasnya terengah-engah. Ia tidur dalam dekapan ibuk yang terus saja merapal doa. Sampai keesokan harinya ia dilarikan ke rumah sakit.
Banyak orang bilang adek kena sawan. Sampai saran saran berbau mitos berdatangan. Namun tetap saja kami menempuh jalan medis untuknya. Setelah berbagai pemeriksaan dilakukan, adik harus menjalani perawatan inap. Yang saya tau ketika itu, kadar gula dalam darahnya meningkat dan harus mendapat suntikan insulin. Boleh dibilang dia mengalami diabetes. Setelah beberapa waktu di rumah sakit tubunya terlihat berisi. Kendati demikian ia tak terlihat segar selayaknya orang yang bertambah berat badan karena pola makan. Rasanya agak janggal.
"Kok adek sekarang gendut? Kan lagi sakit?" Tanya saya dari balik jendela kamarnya kepada bapak
"Mungkin karena cairan infus."
Dari balik jendela ia melihat saya dengan mata berbinar. Ia menggedor jendela sambil memanggil manggil nama saya.
"Tunggu di sini, bapak masuk dulu."
Saya agak kecewa karena tak bisa ikut masuk. Memang begitulah prosedurnya. Namun saya kaget karena ternyata bapak kembali keluar bersama adik sembari menenteng botol infusnya.
Selama kami bersama di rumah, adek selalu menghindari saya. Ia sering kali kesal karena kejahilan saya. Bahkan ia sering marah dan terlihat seperti seorang dewasa yang sudah habis kesabaran menghadapi sikap saya yang sangat jahil. Namun siang itu ia menunjukkan sikap yang sangat berbeda. Ia sangat ingin bertemu dan bahkan tertawa geli dengan setiap tingkah laku saya dalam usaha menghiburnya. Namun bukan hati bahagia yang saya rasakan. Entah mengapa rasanya justru berantakan. Tangis nyaris saja pecah tapi saya harus menahannya sekuat tenaga. Saya tersenyum meski hati berantakan melihat keadaan adik yang sudah jauh berbeda. Untuk usia saya saat itu keadaan dan hal hal yang berkecamuk di hati maupun benak, serta emosi yang tertahan terasa menyakitkan. Menjadi suatu pengalaman sulit. Berkali kali saya berusaha untuk memalingkan wajah dan sembunyi sembunyi menyeka air mata yang menggenang dan nyaris jatuh.
*
Setelah hari itu adek sempat pulang ke rumah dan kami kembali bermain bersama. Saya seakan tak ingin melepaskan pandangan darinya. Setiap saat mengamati keadaannya dan memastikan ia baik baik saja. Kami menonton teletubbies acara kesukaannya dan bermain berbagai permainan. Ia mendadak mendapat banyak sekali mainan baru demi menyambut kepulangannya. Selama ini ia selalu cukup puas dengan mainan mainan lungsuran dari saya dan kakak. Ia tak pernah merengek minta mainan kecuali balon gas jika lewat depan rumah. Itu pun hanya sesekali saja.
Hari hari bersamanya ternyata harus terhenti lagi karena adik lagi lagi tak sadarkan diri. Ia kembali dibawa ke rumah sakit tapi kali ini ke RS Muhammadiyah Kalisat dengan diagnosis terakhir radang otak.
Saya kembali risau begitu pula dengan ibu yang tak lagi dapat digambarkan perasaannya. Namun malam itu kekuatannya dicoba hingga batas yang mungkin beliau sendiri tak pernah tahu akan mampu bertahan sejauh itu.
Jarum infus tak dapat menembus kulit si bungsu. Berkali kali perawat gagal memasukkan jarum infus. Tubuh adik sudah menolak semua cairan yang dimasukkan ke tubuhnya. Ibu mendekat ke tubuh mungil itu dan mencium setiap senti wajahnya serta membelai dengan lembut. Bersamaan dengan itu hawa dingin yang aneh menyergap tubuh beliau.
"Kita doakan saja ya bu.." Dokter berkata pada ibu sambil melungsurkan buku yasin.
Ibu saya heran dan ingin menepisnya. Antara tahu dan tidak. Antara menerima dan menyangkal. Antara marah dan pasrah. Akhirnya Ibu tak lagi punya kekuatan untuk menafikan takdir yang tinggal hitungan detik akan menjemput putri bungsunya.
*
Malam itu saya terbangun dan seperti biasanya ketika saya tak sengaja bangun, saya akan melihat ke arah tempat tidur kakak yang ada di sebelah. Tempatnya kosong dan saya merasa kesal mengapa ia pergi tanpa membangunkan saya.
Perlahan saya turun dari ranjang dan mendapati dengung suara dari lantai bawah. Dengan mata yang masih terasa berat saya mencoba untuk menyesuaikan pandangan di ruang tengah yang cukup menyilaukan oleh cahaya lampu. Tak seperti biasanya banyak keluarga berkumpul dan lampu ruang tamu menyala. Beberapa diantara mereka membaca surah yasin.
Ibu saya terduduk lesu sedang kakak menangis di samping beliau.
"Ada apa buk?" Saya bertanya padanya
"Lihat saja di depan"
Saya menuju ruang tamu. Sofa sudah di keluarkan ke teras. Sebagai gantinya hanya ada beberapa kursi dan meja yang biasa dipakai bapak bekerja diletakkan di tengah ruangan berlapis kain jarik dan diatasnya adik terbaring dengan wajah yang pucat berselimut kain batik. Budhe, kakak dari ibu saya tengah menciumi pipi adik. Dengan mata yang sembab dan pipi merah beliau terus menciumi pipinya.
Saya menatap dengan tatapan datar dan hampir tak merasakan apapun. Tak ada yang menjelaskan pada saya tentang keadaan itu. Saya hanya tahu, adik telah meninggal tanpa pernah tahu jika di kemudian hari saya akan menemui kehampaan yang menganga lebar. Tanpa menyadari bahwa hari hari bersamanya telah terhenti dan tak akan terulang lagi.
Tak ada air mata. Bahkan saya tak merasa sedih. Saya hanya menjalani hari itu dengan biasa saja. Bahkan saya senang karena ada sepupu sepupu yang datang. Saya berlarian kesana kemari sampai salah seorang diantara mereka berkata:
"Kok kamu masih ceria sih. Kamu tahu ga adik kamu meninggal?"
Saya hanya diam dan berlalu, tetap berlarian dan tersenyum.
Belakangan saya tahu, bahwa kepergian adik menjadi pukulan besar bagi saya. Kesedihan yang saya rasakan mungkin telah melampaui batas hingga rasanya hanya kosong. Saya tak bisa menampilkan emosi sedih pada saat itu juga. Ada jeda panjang untuk menyadari bahwa ia telah benar benar pergi dari dunia ini. Tak ada yang mendekap dan menanyakan apakah saya baik baik saja. Tak ada yang memberi saya ruang dan waktu untuk bersedih pada waktu itu. Saya selalu sendirian merasakan segalanya dan mencoba mengurainya sendiri. Kami bersedih dan menempuh jalan masing masing dalam mengatasi kesedihan. Seandainya saja kami bisa saling berbicara tentang kesedihan ini dan saling menguatkan.
Saya tak ingat tanggal dan hari adik meninggal. Namun saya selalu ingat hal hal tentangnya disaat anggota keluarga lain telah lupa (wajar jika semua mulai lupa karena waktu itu ia masih kecil). Sebab tak selang beberapa lama lahirlah adik laki laki kami.
Saya masih ingat makanan kesukaanya. Ia juga seorang yang ceria dan ramah pada siapa saja. Bahkan ia tak segan untuk berkunjung ke rumah tetangga untuk bermain. Hal hal itu yang kini ada pada Bening. Rasanya ia seperti kembali pada saya dalam tubuh Bening. Maka ada saat dimana saya merasa takut berlebihan dan khawatir ketika Bening demam dan tubunya panas. Saya selalu ketakutan dan sangat terpuruk jika dihadapkan situasi semacam itu terlebih saat sendiri.
"Tenang. Semua akan baik baik aja kok." Suami selalu berusaha menenangkan dan memahami saya.
*
Halo... Jika kamu masih ada disini, hari ini usiamu tepat 26 tahun. Waktu berlalu tapi kakakmu ini jika teringat akanmu selalu merasa masih terjebak dalam seragam pramuka siaga.
Sampai jumpa, semoga kelak kita bisa bersua lagi. Akan saya ceritakan tentang Bening yang begitu ceria dan tak mengenal rasa takut sepertimu.
0 Comments