Batas
Agustus 21, 2021Mungkin aku pantas dihancurkan hingga berkeping keping. Mungkin mereka boleh lupa bahwa aku juga punya hati untuk merasa. Mungkin mereka merasa berhak menginjak hatiku tanpa peduli apapun soal perasaan sakitku. Mereka angkat tangan, berpaling, dan menutup telinga.
Aku hancur. Saat aku mencoba bangkit dan menyusun diriku dari puing puing ini, aku dihantam lagi dan lagi. Tiada kesempatan bagiku untuk menjadi kuat dan lebih tegar lagi. Bagaimana bisa menjadi lebih kuat bahkan untuk bangkit saja tumpuanku runtuh.
Aku mencoba mencari arti. Aku mencoba mengais makna. Mengapa tak ada sebutan apapun untuk orang tua yang kehilangan anaknya. Sedangkan untuk seorang suami atau istri yang kehilangan memiliki sebuah sebutan. Sebab mungkin orang tua tak memiliki hak apapun terhadap anak. Meski aku ada karena ada campur tangan orang tua, tapi ruh, ia adalah entitas yang berbeda. Lain persoalannya.
Ada yang bilang, anak tak punya kewajiban untuk membahagiakan orang tua. Hanya cukup berbakti. Namun apakah dalam hal berbakti itu mencangkup menyenangkan hatinya? Bagaimana denganku? Bahkan aku tak mengerti definisi kebahagian mereka, dan setiap aku mencoba mencapainya, tak pernah cukup usahaku. Maka sebaiknya aku berhenti. Sebaiknya aku mencukupkan semuanya di batas aku menghormati mereka. Itu saja.
Aku tak punya alasan lagi untuk menyulam benang benang itu. Semua hanya sebatas sebutan dan takdir yang kebetulan begini. Kebetulan dia orang tuaku. Yah mau bagaimana lagi...tidakkah aku terlalu dingin dan sinis saat ini? Sebab hatiku sudah hancur.
0 Comments