Diujung Senja

November 03, 2018

Sesekali aku berhenti kemudian menoleh ke belakang. Aku melihat punggung itu dari kejauhan perlahan berjalan menjauh pergi. Sosoknya tenggelam diantara fatamorgana dan silaunya cahaya matahari. Semakin kecil saja apa yang aku lihat sebab ia berjalan menjauh. Terkadang aku ingin terdiam begitu saja melihat punggung itu. Sementara pikiranku dipenuhi kelebatan cerita silam. Bagaimana ia penah tersenyum dan menatapku. Selalu saat aku tanya mengapa, ia menggeleng dan tersenyum lagi semakin lebar. Membuatku terus bertanya, mengapa dan mengapa.

Pertemuanku dengannya mungkin tanpa alasan. Terjadi begitu saja. Pun dengan pertemuan dua rasa yang menjadi satu, sungguh tanpa alasan. Tapi pada akhirnya ia menemui sebuah alasan untuk meninggalkan. Sehingga pada akhirnya aku, kembali pada satu titik yakni aku benar benar tidak punya lagi alasan tuk menanti dan tetap tinggal. Tak ada alasan yang mampu aku utarakan sebab aku telah dibungkam oleh kenyataan.

Aku terharu menatap punggung itu. Bukan sebuah penyesalan. Kini aku sadari bahwa kita hanya seperti kerumunan orang di keramaian. Kita adalah dua diantaranya yang berpapasan, bertemu oleh takdir untuk berdiri bersebelahan atau saling berurutan. Entah di sebuah komuter atau mengantri di sebuah kedai minuman. Kita saling sapa dan bertanya. Dalam lingkup budaya kita yang senang bertanya dan beramah tamah. Orang bilang sebuah perbincangan basa basi. Ahhh...apakah benar begitu adanya. Kisah yang kita jalani semasa itu adalah basa basi belaka? Mungkin saja benar. Sebab kita kemudian mengakhiri semuanya dan berjalan ke arah yang berlaian. Serupa penumpang komuter yang harus segera turun di stasiun tujuannya. Perbincangan seseru apapun tetap harus berakhir ketika tiba waktunya. Lantas saat kaki melangkah keluar gerbong, dua orang itu kembali menjadi asing dan tak saling mengenal. Tak ada kata sampai bertemu kembali karena belum lah mungkin dan tak lagi mungkin tuk bertemu.

Aku menatap sinar mentari diujung hari ini. Kemilaunya keemasan dan hangatnya menyiram sekujur tubuhku. Angin bertingkah meningkahi ujung rokku yang lebar. Aku tersenyum. Meski aku sendiri kini, aku percaya inilah garisan ilahi. Setapak demi setapak kan ku jalani. Aku tak kan terhenti sebab peristiwa yang pernah membuatku terkulai. Aku harus tetap berjalan.
...

Sebuah Impresi bebas nan mandiri dari single Mandiri (Polka Wars)

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling