Senin Petang Bersama Bapak

November 12, 2018


Beberapa hari belakangan ini rasanya nafsu makan saya makin meningkat. Entah apa yang menyebabkan seperti ini. Apakah ini ada campur tangan alam semesta? Tsaahhh… haha maksud saya, mungkin kah karena hawa dingin? Loh apa korelasinya? Ah entahlah. Yang pasti saya makin suka ngemil dan kerap terbayang bayang akan suatu menu makanan. Roti bakar, martabak telor, ayam geprek, risol mayo, rondo kemul, daaannn bakso Lombok uleg khas Temanggung. Saya merasa inilah saatnya saya makan bakso Lombok uleg sebelum saya kembali ke perantauan. Keinginan itu saya utarakan saat sore tadi. Ibuk mengatakan bahwa nasi di rice cooker habis. Jika saya hendak makan sebaiknya menanak nasi terlebih dahulu. Tapi dengan nada lirih saya berkata, buk… fany pingin bakso Lombok uleg. Seperti biasanya dan selalu ibu saya bilang, “ha mbok iyo…” Alhamdulillah beliau mengiyakan. Namun keinginan saya itu diutarakan kembali pada bapak, agar bapak saja yang mengabulkan keinginan saya. jadilah ba’da maghrib bapak mengajak saya keluar makan bakso.

Dibayangan saya semangkuk bakso Lombok uleg dengan cabai rawit ekstra pedas. Setiba di warung saya minta empat buah cabe. Masih terlalu cemen tapi saya menganggap  empat cabai saya rasa cukup pedas. Namun dugaan saya agak meleset. Sruput pertama, saya tak merasakan pedas. Pun sruput berikutnya ketika saya sudah mengaduk isi mangkuk. Tetap saja sensai pedas yang saya bayangkan tidak saya dapatkan. Namun ketika isi mangkuk saya hampir habis, lumayanlah saya merasakan sensasi pedas sampai hidung meler. Mungkin memang jatah ketahanan pedas saya hanya sampai empat butir cabai saja.

Sebetulnya jika saya mau merenungi moment makan bakso Lombok uleg ini, kenikmatan yang sesungguhnya bukan terletak pada mangkuk bakso, kuah maupun kenyal baksonya. Namun lebih pada detik demi detik yang saya lewatkan bersama bapak. Bagaimana ketika kami berjalan berdua dan bapak menggandeng tangan anaknya ketika hendak menyebrang jalan atau diskusi diskusi ringan seputar kehidupan. Saya menyukai itu semua dan bagi saya itu benar benar berharga. Kini saya akan lebih bersyukur karena saya bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama orang tua saya sebelum saya benar benar menjalani kehidupan saya sendiri. sebelum saya menikah dan lebih banyak menghasikan waktu dengan suami dan anak saya kelak. Saya rasa saya harus lebih bersyukur meski diusia sekian saya belum menikah sementara perempuan perempuan di luar sana yang seumuran bahkan mungkin lebih muda dari saya telah menikah.

Emm.. tidak.. bukan berarti saya tidak ingin menjadi dewasa dan berkembang. Justru sebaliknya, lebih banyak waktu bersama orang tua dan kedekatan saya dengan beliau berdua adalah pengalaman yang berharga. Dari beliau berdua juga saya belajar tentang kehidupan. Petuah demi petuah dan setiap hal yang orang tua saya lakukan tanpa saya sadari akan sangat membekas dalam memori. Itu semua jadi bekal kehidupan saya kelak. Pun dengan setiap berbincangan yang kami lakukan, semua itu begitu indah.


Terimakasih ya Rabb atas segala nikmat dan karuniaMu. Semoga saya bisa membuat orang tua saya bangga dunia dan akhirat. Aamiin. 

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling