­

Too Sad

Februari 09, 2019


Bagaimana mungkin aku dapat melupakan segala yang telah begitu lekat di kehidupanku. Yang tak pernah sekalipun aku terfikir untuk mengakhirinya. Kita tak pernah membicarakan hal itu. Kita berdua telah menerima perbedaan itu dan telah berjalan sedemikian jauhnya. Rekah merekah bahagia dalam hatiku. Ketika aku membingkaimu dalam sebuah foto. Ku perhatikan langkah kakimu yang anggun tapi juga berani. Kau melangkah di antara rimbunnya pohon cemara. Sementara daun daun gugur berwarna kecoklatan serupa karpet yang sengaja dibentang mengantarkan langkahmu menuju istana. Dan istana itu ada dalam hatiku. Kau telah menjadi seorang ratu menguasai hampir sebagian besar hatiku.

Aku masih ingat suara tapak kakimu yang memijak ketanah. Keretak daun kering dan ranting ranting, nafasmu. Aku juga masih teringat segala pemandangan yang indah kala itu. Sesekali kau menyelipkan rambutmu ke belakang telinga. Angin menerpa rambutmu yang bergelombang berwarna kecoklatan. Sesekali menoleh kearahku memastikan aku baik baik saja. Kau tersenyum. Bila saja bukan karena senyum itu. Perjalanan terasa biasa saja. Namun beginilah sore ini. Perjalanan yang ku tempuh terasa biasa saja. Sebelum akhirnya menjadi kacau saat aku berkilas balik. Perasaanku bahkan tak bisa sekadar didefinisakan dengan kata hancur, luluh lantak, atau apalah itu. Jika ada kata yang memiliki makna lebih menyedihkan dari segala kata bermakna sedih di bumi ini, aku ingin sekali menggunakannya.

Mengapa aku masih setegar ini saat menerima kenyataan ini? Hal yang tak pernah kita sentuh menjadi alasan yang pasti untuk mengakhiri kisah kita. Jika orang orang melihatku dari luar, aku terlihat baik. Sebab memang manusia seharusnya bisa melanjutakan hidupnya, apapun yang terjadi. Tapi jujur saja, hatiku rapuh. Bahkan mimpi semalam telah membuatku merasakan lagi kehancuran. Sama seperti ketika aku mendengar ucapanmu saat itu. Kau pamit. Lalu rangkaian kehancuran mengikuti setelah kepergianmu.

Rupanya apa yang kita sepakati untuk tak dibahas dan sentuh, telah berkembang menjadi sebuah ketakutan. Telah bertumbuh menjadi pemangsa yang paling mematikan. Kita berdua tanpa sadar telah menyimpan bom waktu. Segala yang kita ukir, kenangan manis itu, hanya menjadi material tajam mematikan ketika bom itu meledak.

Aku masih menyimpan sosok mu dalam alam bawah sadarku. Sesekali kau kembali tapi aku tak punya keberanian untuk sekadar menyapamu. Pagi tadi ketika aku terjaga dan bersandar di tembok kamarku, aku menatap sebuah potrret diriku. Foto itu kau ambil menggunakan kamera polaroid kesayanganmu. kemudian kau meletakkannya diatas sana dan hingga kini aku enggan memindahkannya. Menyentuhnya pun tidak. Sebab disanalah sidik jarimu tertinggal. dan biar saja benda benda yang pernah kau sentuh, aku biarkan berdebu. Sebab ku tak ingin sidik jarimu memudar bila aku mengelap benda benda itu.
Memutar: Elena Tonra - Too Sad

Catatan penulis
Sebuah impresi. Teirnspirasi dari lagu Too Sad dan kisah seseorang. (Bukan saya pastinya)

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling