­

Berakhir di Awal Hari

Februari 28, 2019

Pagi sekali, bahkan langit masih gelap. Suasana selepas subuh selalu hening dan dingin. Namun bapak sudah menyalakan mobil bersiap untuk berangkat kerja. Lebih pagi. Saya yang sedang datang bulan masih menggeliat di atas kasur merapatkan selimut. Badan saya terasa lemas dan kepala pening. Mendadak saya terkejut sayup sayup mendengar ibu sedikit panik. Kemudian setelah mobil bapak keluar garasi dan suara derunya menjauh, ibu masih terdengar seperti mengajak bicara seseorang. Sesaat kemudian ibu memanggil saya dengan nada yang panik.

"Nduk iki..."

Saya menemukan kucing saya tergeletak di paving. Disitu biasanya mobil bapak terparkir. Rupanya tadi ibu mengajak bicara kucing saya. Awalnya ibu menduga ia tertabrak mobil bapak. Namun setelah saya periksa baik baik tak ada luka di tubuhnya. Ada bagian paving yang terlihat gelap dan basah. Namun bukan dari darah. Melainkan air liur Sarimin. Ia masih terus kejang. Matanya melotot dan tak berkedip sama sekali. Bahkan ketika saya mendekatkan jari saya kearah matanya, ia tak berkedip. Sesekali ia meraung. Nafasnya putus putus dan kejang. Saya bingung dan hanya terpaku. Dalam hati saya berkata, sekalipun akan saya bawa ke dokter hewan sepertinya tidak bisa lagi tertolong. Mungkin Sarimin sedang sekarat. Saya menungguinya sambil mengelus elus punggung dan perutnya. Suara raungannya membuat saya bersedih. Dalam hati saya berdoa agar berjalan dengan lancar.

Langit mulai sedikit terang. Saya sudah berjongkok menunggui Sarimin yang masih sekarat. Karena kejangnya, posisi berbaringnya menjadi sedikit bergeser dari awal saya temukan dia. Saya beranjak untuk mandi. Ketika saya kembali ia sudah terdiam. Matanya masih terbuka tapi sorot matanya kosong dan hampa. Saya pikir tubuhnya kaku tapi ketika dengan hati hati saya angkat tubuh sarimin, tubuhnya lemas cukup lunak. Mungkin di awal akan seperti ini. Tapi nanti beberapa jam ia akan kaku.

Saya menyiapkan kain untuk membungkus tubuh Sarimin. Saya angkat lagi dengan hati hati lalu saya letakkan diatas kain yang membentang. Untuk terakhir kali saya belai tubuhnya. Tak terasa, pelupuk mata saya perih. Tapi masih belum juga ada air mata yang menetes. Saya ingin merelakan Sarimin sepenuhnya. Sudah waktunya barang kali.

"Kucing paling lama bisa hidup 7 tahun"

Bapak pernah berkata begitu. Di lain waktu bapak bilang setelah kucing beranak cukup sering ia akan menua dan mati. Tapi saya tak memikirkan itu semua. Saya tak pernah membayangkan sarimin suatu hari mati. Yang saya tahu sarimin akan terus saja begitu. Mengeong setiap kali saya membuka pintu belakang. Mengong setiap pagi setelah subuh. Berlari menghampiri saya yang tengah membuka jendela. Selalu menanti saya membukakan toples makanan keringnya. Saya menyesal, kemarin siang saya tak membukakan toples kesayangannya. Karena saya pikir, ia sudah cukup kenyang dengan makanan yang sudah ibu sediakan. Padahal biasanya saya selalu memanjakannya dengan memberikan makanan kering meski ia sudah banyak makan.

Kepala saya pening sekali saat ini. Mata saya masih sedikit pedih. Dulu saya pernah menangis berjam jam ketika sarimin hilang. Ia tak pulang ke rumah. Waktu itu ia pergi entah kemana tapi lama sekali tak kembali. Hingga akhirnya pagi hari baru pulang. Saya menangis lega. Pernah sekali waktu ia sakit. Lemas dan tak bertenaga. Makan tak mau, hanya tidur seharian. Melihat keadaannya yang demikian itu saya tak kuasa menahan tangis. Saya memberinya obat anak, bahkan juga propolis. Akhirnya ia berangsur membaik dan pulih seperti sedia kala.

Saya telah banyak menangisi Sarimin dulu. Saya sering kali menangis di hadapannya dua tahun lalu. Ketika saya penat, saya mencari Sarimin. Sekadar membelai tubuhnya yang dipenuhi bulu yang lembut. Namun ketika saya, sadar kelak nanti jika saya ingin duduk di halaman belakang, tak ada lagi ia yang menemani. Bahkan kebersamaan kami, belumlah sampai tujuh tahun, tapi Sarimin sudah pergi

Kenapa saya tak melihat tanda apapun kemarin siang. Saya masih bermain bersamanya. Mengganggunya, menjahilinya. Ia baik baik saja kemarin. Kenapa pagi ini dia sekarat? Apakah itu bagian dari rahasia kehidupan? Hanya Allah yang mengetahui.

Sarimin, bahkan saya tak pernah dengan jelas memberikan nama yang layak untuknya. Bapak hanya memanggil dengan sapaan de'e, layaknya memanggil seorang bocah kecil. Kamu seperti bocah kecil yang bandel, min. Tapi sekali waktu bapak pernah menjuluki Sarimin. Maka itulah namamu. Nama tidaklah penting lagi, min. Apapun namamu, cerita yang sudah banyak kita lalui jauh lebih bermakna dan berharga. Bukankah begitu?

Saya menunggui bapak pulang untuk mengurus pemakaman sarimin. Semoga bisa diurus secara layak. Tapi pada akhirnya ibu yang menggalikan tanah dan mengubur Sarimin. Dulu ibu yang paling berat hati saat pertama kali Sarimin datang ke rumah. Tapi lambat laun melihat tingkah dan perwakan Sarimin yang lucu, ibu pun juga sayang padanya. 

Selamat tidur Sarimin. Bermain mainlah disana, rajin rajinlah berburu, jangan malas ^^ kami sayang kamu

Dalam kenangan

Tifanny

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling