Menyelami yang Tak Berdasar
April 25, 2018Sering kali saya mengajak diri saya sendiri berdialog atau berdiskusi tentang apa saja. Tentu tak masuk akal tapi saya merasa itu sudah cukup bagi saya untuk menyimpulkan suatu hal dan memutuskan sesuatu. Sering tanpa sadar menyeletuk, "baiklah saatnya kita makan." Misalnya seperti itu. Kita? Padahal saat itu saya sedang sendiri dan tak ada orang lain. Hal seperti itu membuat saya mampu mengatasi rasa sepi. Namun disisi lain saya menjadi begitu tertutup dan enggan mendengarkan orang lain. Terutama jika apa yang mereka bicarakan terdengar memojokkan, memaksa, dan menghakimi. Saya menjadi teramat egois dan tak betah dikritik. Merasa bahwa hidup yang saya jalani sudah cukup baik dan nyaman.
Mereka menginginkan saya bahagia. Saya sudah cukup bahagia. Mereka menginginkan saya berinteraksi dengan orang lain, saya sedang tak ingin. Mereka menginginkan saya mencari staus sosial, saya merasa tak butuh itu. Begitu batu dan kerasnya saya. Saya hampir hampir tak bisa membedakan. Benarkah mereka ingin saya bahagia, ataukah sudah malu dan muak melihat saya menjadi manusia tak berdaya lagi tak berguna? Ya...terkadang saya juga muak dengan diri saya. Tapi saya kini sudah mulai berdamai. Meski saya masih bertopang dan bersandar pada orang tua. Saya hanyalah nol besar dan sebentuk kegagalan.
Saya mencari ketenangan, ditengah keresahan mereka pada saya. Saya mencari bahagia di tengah rasa sedih mereka yang tertahan. Saya ingin pergi agar mereka tak terbebani dengan semua perasaan itu. Perasaan yang tumbul setiap mereka melihat gerak gerik saya disini. Yang tak memunculkan perubahan yang berarti. Namun saya tak punya tujuan. Saya tak kunjung punya keinginan kuat mengumpulkan keberanian. Semua hanya berupa keinginan tanpa ada realisasi.
Jika ditanya, bagaimana perasaan saya, tentu lelah. Tapi saya mencoba untuk tetap bertahan. Konyol memang, bertahan pada kekosongan tanpa ada hasrat apa apa. Menanti sesuatu yang tak tahu apa. Jika boleh jujur, tujuan saya saat ini adalah, bagaimana caranya agar kehidupan setelah di dunia ini menjadi baik. Namun saya bingung, bagaimana bisa jadi baik jika saat ini saya hanya bisa menuai rasa marah, jengkel, benci dan muak orang tua saya. Saya bingung. Sangat bingung.
Menyelami diri sendiri bagai menyelami lautan tak berdasar. Seperti mengarungi ruang angaksa yang tak bertepi. Bahkan diri sendiri tak pernah tahu apa, bagaimana, dan mengapa. Menelaah diri sendiri adalah suatu kegiatan yang tak kan pernah berkesudahan.
0 Comments