Sebuah Refleksi Diri di Hari Buku Sedunia

April 23, 2018


Bagi saya buku adalah benda yang cukup akrab dalam kehidupan saya. Kalau mau dibilang suka baca, tidak juga. Tapi dibilang tak suka baca, saya sebetulnya suka. Akrab disini dalam artian, secara tidak langsung, kehidupan saya ditopang oleh buku. Saya bisa sekolah, bertahan hidup hingga hari ini, berteduh di bawah atap rumah orang tua, karena bapak saya yang bekerja di sebuah percetakan buku dan majalah. Bapak sendiri ada di bagian marketing. Alloh menitipkan rizki berupa materi lewat penghasilan bapak sebagai sales buku. Rumah sudah pasti dipenuhi dengan buku. Buku buku bertebaran disana sini. Tapi buku yang ada adalah buku bahan ajar untuk PAUD maupun TK. Harusnya masa kecil saya akrab dengan buku dan saya menjadi seorang penggemar berat buku sejak kecil. Hal yang terpenting sebelum membuka buku adalah kemampuan membaca. Tanpa kemampuan baca, kita tidak akan bisa mengerti apa yang ada di dalam buku (kecuali buku itu memuat gambar ilustrasi yang sudah dapat dimenegrti tanpa bantuan tulisan). Sedangkan saya, meskipun banyak buku yang bisa digunakan sebagai sarana belajar membaca, saya tak kunjung bisa membaca. Bahkan tahun ketiga saat di TK, saya masih belum bisa membaca. Waktu itu karena masalah usia, saya belum bisa melanjutkan ke jenjang sekolah selanjutnya. Lagi pula waktu itu ketika ditanya, mau sekolah SD apa TK lagi? Saya hanya diam. Akhirnya pertanyaan diganti. Mau belajar apa main? Saya memilih bermain. Maka akhirnya saya tinggal lagi di TK.

Di tahun terakhir saya, saya masih belum bisa membaca. Baik guru maupun orang tua sama sama bingung dan berupaya lebih untuk mengajari saya membaca. Akhirnya sang guru bersedia memberikan waktu tambahan agar saya bisa membaca. Singkat cerita saya bisa membaca dan kemudian mendaftar SD. Waktu itu ada sesi wawancara dalam penerimaan siswa baru. Padahal sebelum dan sesudah tahun saya, tidak ada sesi sesi seperti itu. Sesi wawancara berlangsung dengan sangat aneh dan konyol. Ini dikarenakan jawaban yang saya beri semuanya membuat geleng geleng dan geram ibu saya. Seorang guru yang bertugas mewawancara, bertanya pada saya apakah saya bisa membaca. Saya menjawab “tidak tahu.” Lalu saat sampai pada pertanyaan kemampuan dasar, tentang indra pengecap, sang guru bertanya, apa rasa gula, garam, dan lain sebagainya, saya terus saja menjawab “enak”. Hahaha.

Saya berhasil masuk SD dan kehidupan akademik saya berjalan dengan normal. Saat kelas lima SD saya mulai senang berkunjung ke perpustakaan. Saat itu perpustakaan kurang di perhatikan. Segala koleksi, tempat, dan raknya kuno serta berdebu. Sama sekali tidak ramah dan apalagi menyenangkan. Namun saya menyimpan rasa penasaran dengan benda benda yang ada disana. Ingatan saya sudah memburam. Namun saya lumayan ingat, buku yang berkesan dan bisa habis saya baca adalah biografi Haji Agus Salim.

Saat kelas enam, saya mengikuti bimbingan belajar di sebuah bimbel ternama yang punya banyak cabang diseluruh Indonesia. Kebetulan di sekitar tempat les ada sebuah kios penyewaan buku. Disana saya bisa menyewa buku apa saja tapi harus jadi anggota dulu. Tanpa pikir panjang saya langsung daftar menjadi anggota. Setiap ada jadwal les, sebelum masuk kelas saya mampir ke kios untuk meminjam buku dan mengembalikan buku yang sudah saya pinjam. Beberapa kali saya sering meminjam komik. Komik favorit saya adalah Detective Conan. Namun suatu hari bapak memarahi saya, karena mendapati saya selalu membaca komik. Sedangkan saya sudah kelas enam dan hampir ujian. Bapak mengancam akan memukul saya kalau saya ketahuan baca komik lagi. Sejak saat itu saya tidak pernah baca komik. Sampai sekarang saya merasa bingung jika membaca komik. Tidak bisa fokus dan mengikuti ceritanya.

Lulus sekolah dasar, saya diterima di sebuah SMP negeri di kabupaten saya tinggal. Saya senang dan bangga bisa bersekolah disana. Sebab kakak saya dulu juga bersekolah disana. Ada banyak hal yang membuat saya senang bersekolah disini. Salah satunya adalah fasilitasnya lengkap dan cukup bagus, termasuk perpustkaannya. Kebetulan ketika saya masuk, sekolah ini sedang dalam proses pembangunan. Selang beberapa bulan, bangunannya jadi dan bisa ditempati. Perpustakaan yang semula berada di area depan, berdekatan dengan gerbang, dipindahkan ke area sekolah bagian belakang. Disana bangunannya lebih modern dan pelayanan pinjam meminjam sudah dengan system komputerisasi. Masuk ke perpustakaan, kami juga mengisi daftar hadir melalui komputer presensi dengan memasukan nomor induk siswa. Jika kami ingin mencari buku dan memeriksa ketersediaannya, bisa di cari lewat komputer katalog dulu. Hehe. selain semuanya sudah tertata lebih rapi, sekolah juga menambah koleksi buku. Ada banyak buku ilmu pengetahuan, ensiklopedia, bahkan juga novel yang baru. Saat itu saya tertarik meminjam novel. Ada banyak genre novel. Dan yang jadi kesukaan saya waktu itu adalah novel teenlit.

Lambat laun saya merasa bosan karena ceritanya pasti hanya seputar cinta yang itu itu saja. Sampai akhirnya saya lulus dan diterima di SMA negeri 3. Di SMA itu tempat yang menjadi favorit saya adalah perpustakaan. Sebab di perpustakaanlah saya bisa mendapatkan ketenangan. Hal yang jarang saya dapatkan ketika saya berada di kelas. Saya merasa sangat tertekan ketika berada di kelas. Sebab teman teman saya terlampau berisik. Kebetulan sekali teman sebangku saya juga suka membaca. Jadi kami sering pergi berdua ke perpustakaan ketika jam istirahat. Kemudian kembali ke kelas dengan buku yang kami pinjam. Saat itu saya mulai mengenal novel novel karya Tere Liye, Andrea Hirata, A. Fuadi, dan beberapa novel terjemahan. Semenjak membaca karya beliau beliau ini saya mulai meninggalkan teenlit. Beralih ke novel yang ceritanya lebih berbobot. Sampai saat ini, yang menjadi favorit saya masih selalu karya Andrea Hirata. Saya suka sekali dengan gaya tulisannya dan pemilihan kata yang dipakai. Juga bagaimana beliau berkisah tentang sesuatu. Salah satu karya beliau yang menjadi favorit saya adalah Dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas. Bagi saya keduanya menarik, berkesan, dan banyak pelajaran moral yang dapat diambil. Sebetulnya, hampir semua buku karya beliau punya pesan moral yang mendalam. Namun saya sangat suka dengan Dwilogi tersebut.
Selain membaca novel, saya suka sekali membaca buku pengetahuan alam. Buku ensiklopedia tentang flora fauna, atau tentang fenomena alam. Saya juga menyukai buku yang berisi tentang sejarah, kebudayaan, dan sosial. Sebetulnya saya punya impian memiliki perpustakaan pribadi.
*

Di hari buku sedunia ini, saya ingin kembali mengingatkan diri saya sendiri. Bahwa belakangan semenjak mulai akrab dengan dunia digital, yang mana di era ini setiap orang bisa mengakses media sosial dari genggaman tangan, waktu luang kita lebih banyak tersita untuk media sosial. Bahkan mungkin saja sepanjang waktu, tak pernah terlewat tanpa menilik media sosial. Kemudian, kebiasaan membaca sudah mulai luntur. Mungkin kita bisa membaca artikel di internet, tapi ketahuilah, bahwa artikel yang tersebar itu hanya segelintir saja yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahan data dan informasinya. Sedangkan buku, banyak hal yang mesti dipertimbangkan sebelum buku itu sampai di tangan pembaca. Ada observasi dan melalui proses penyuntingan sebelum akhirnya buku itu terbit. Maka, segala yang terdapat di buku benar bisa dijadikan referensi. Biar bagaimanapun keberadaan buku tak bisa digantikan.

Jujur saja saat ini saya lebih senang melihat segala sesuatu dalam bentuk visual. Membaca seolah mulai pudar. Saya benar benar khawatir dengan kondisi ini. Saya merasa kekeringan dan sudah dalam keadaan gawat. Untuk itu saya mencoba untuk membiasakan lagi membaca. Apapun itu terutama buku. Syukur Alhamdulillah, seperti yang sudah saya ceritakan beberapa waktu lalu, bahwa saya mendapat kiriman buku dari seroang teman. Itu merupakan sebuah pemacu untuk kembali memulai kebiasaan membaca buku yang sempat pudar. Semoga saja dalam waktu dekat ini, di kabupaten saya tinggal kembali diadakan gelaran basar buku lagi. Sebab rasa rasanya sudah jarang sekali ada bazar buku.


Akhir kata, selamat hari buku sedunia, mari budayakan membaca dan…jangan bakar buku apalagi menyobek buku untuk dijadikan bungkus makanan. Lebih baik sumbangkan pada yang membutuhkan. 

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling