Luka

Mei 23, 2018


Sebilah kaca sepanjang satu setengah meter jatuh ke lantai saat aku membuka almari kayu. Aku tak menyadari bilah kaca itu ada di depan lemari dan tergeser hingga jatuh saat aku membuka daun pintu almari. Pyarr...berantakan menjadi serpihan kaca. Serpihan kecilnya mengenai jari kaki ku. Tiba tiba ibu datang dan memintaku untuk menjauh.

"Biar ibu saja."

Lalu ibu memintaku untuk pergi.

Aku duduk termenung sambil mengelap setitik darah segar yang keluar dari jari kelingking kakiku. Kajadian tadi begitu cepat. Bisa saja bilah kaca itu jatuh mengenai kedua kakiku terlebih dahulu sebelum jatuh ke lantai. Kurasa itu lebih masuk akal. Aku tengah naik ke sebuah kursi sebab lemari itu semacam rak yang tergantung di tembok. Sedang bilah kaca itu tergeletak di depannya yang sejajar dengan mataku. Tapi karena warnanya gelap, aku tak menyadarinya. Hanya luka kecil ini. Aku beruntung. Lebih lebih ibu sama sekali tak marah padaku. Malah seperti tak ada yang terjadi. Semua terkesan biasa saja.

Ibu telah menghindari kekerasan verbal maupun non verbal semenjak adikku tiada. Mungkin akulah yang kerap mendapat cubitan sampai membekas biru di kulit saat aku masih kecil karena kenakalanku. Tapi semua terhenti begitu saja setelah...yah. mungkin ibu membuat janji dengan diri ibu sendiri untuk tidak melampiaskan amarahnya dengan cara cara yang pernah beliau lakukan. Anak adalah titipan dan tak seharusnya dilukai. Kehilangan memang terkadang membuat seseorang berubah.

Tak ada amarah, nada tinggi penuh kekesalan, ataupun tindakan kekerasan menyalurkan amarah. Ibu adalah contoh terbaik bagaimana seseorang mampu meredam emosi itu. Diam dan diam. Namun kini aku menyadari sesuatu. Terkadang aku mendapati suara suara itu di balik punggungung ku. Meski dengan intonasi yang sedang dan tergolong lembut, nyata benar terdapat kekecewaan dan amarah yang begitu hebat. Bukan sekali dua kali. Berkali kali, seiring dengan banyaknya kesalahan yang aku lakukan. Maka aku tahu satu hal. Lebih baik aku pergi sebelum ibu yang memilih pergi. Biar bagaimanapun tak ada emosi yang bisa ditahan. Dan aku terkadang membiarkan telingaku mendengar suara suara dari balik punggungku. Suara suara di lantai satu sementara aku di lantai dua menahan tangis mendengar semua isi hati ibu yang tercurah pada bapak.

Setidaknya itu tak terjadi di depan wajahku. Tapi aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Dihardik langsung tepat diwajahku, ataukah dibicarakan saat aku telah berpaling? Yang pasti, luka yang tertoreh di hati orang tuaku lebih dalam ketimbang luka hatiku. Aku tak pantas merasa tersinggung dan tersakiti. Sebab semua itu adalah buah dari kesalahanku.
**

Aku termenung sekali lagi....agak konyol aku membayangkan beberapa adegan sebuah drama. Biasanya setelah ada benda yang pecah di rumah, menjadi sebuah pertanda atau firasat. Ah bodoh. Seperti tak ada kuasa Alloh saja. Namun jujur saja perasaanku agak tak enak. Mengapa dan ada apa? Rupanya setelah bapak pulang, aku baru tahu. Ternyata bapak sempat terjatuh hingga sikunya lecet dan sedikit lebam. Apakah ini hanya kebetulan?

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling