Obrolan Musik: Dua Penikmat Musik yang Beda Selera

Mei 11, 2018


Bang Iga Massardi pernah berkicau di twitter nya seperti ini:

Buat saya, musik sesederhana cocok dan tidak cocok. Tidak perlu dibenci, tidak perlu dibela setengah mati. Cukup didengar dan dinikmati.


Saya setuju dengan pendapat vokalis dan gitaris Barasuara itu. Musik adalah sebuah karya yang cukup didengar dan dinikmati saja. Sebab tujuan dari diciptakannya musik adalah untuk didengar dan dinikmati bersama. Perkara ada orang yang punya tujuan lain dari musik ya biarkan saja. Bukan urusan kita. Biar jadi urusan si pelakunya. Tapi saya yakin, dibalik tujuan tujuan lain (mislanya komersil atau popularitas) tentu saja tujuan utamanya adalah karyanya ingin didengar dan dinikmati siapa saja.

Seperti yang kita tahu di dunia musik, ada banyak sekali jenis musik. Bermacam macam istilah dan warna suaranya. Kesemuanya itu telah memiliki penikmatnya sendiri. Menanggapi soal tweet bang Iga mengenai cocok tidak cocok, memang hal itu adalah perkara yang lumrah. Tergantung selera dan cara seseorang mengiterpretasi stimulus suara musik yang diterimanya. Tapi ada yang tidak lumrah kerap terjadi diantara orang orang yang katanya "penikmat musik". Yak menanggapi statement bang Iga yang selanjutnya yakni "tak perlu dibenci dan dibela setengah mati". Inilah orang orangnya. Sekumpulan orang yang gemar sekali mencela karya orang lain hanya karena beda pandangan dan selera. Sesungguhnya orang yang seperti itu belum mencapai kedewasaan dalam berfikir dan maaf saja, wawasannya masih sempit.

Bicara soal cela mencela, curhatan seperti itu terselip diantara obrolan saya dengan seorang teman. Perkenalkan, dia adalah perempuan riang dengan senyun manis, Rahajeng. Ajeng, demikian sapaan akrabnya, tak sungkan sungkan bercerita banyak soal musik favoritnya. Dia penggemar K pop yang boleh dibilang sudah masuk dalam keanggotaan kaum radikal. Penilaian ini mantap saya sematkan padanya setelah obrolan yang lumayan mendalam dengannya. Bagi saya, seseorang yang menyukai sesuatu dan dia mengetahui dengan baik apa yang disukainya, sudah cukup untuk digolongkan sebagai fans garis keras. Haha. Maaf ini hanya pandangan sotoy saya. Kadang ia sendiri heran dengan sepak terjangnya dalam menelusuri musik dan artis favoritnya. Dulu dia hanya sebatas mendengarkan saja. Tapi saat ini sampai ke detil terkecil masing masing personilnya, selalui ia ikuti. Kadang cemooh ia dapatkan. Dibilang lebaylah. Lalu tak jarang pula ia kerap mendengar celaan tentang musik K pop.

"Kalau ga suka yaudah ga usah ngehina."

Selaras dengan pandangan bang Iga. Begitulah kurang lebih yang dilontarkan Ajeng dalam curhatannya disuatu siang.

Sebetulnya lucu apa yang terjadi diantara saya dan Ajeng. Kami adalah dua orang dari dua kubu yang berbeda. Seperti makhluk dari belahan bumi yang berbeda. Saya di kutub utara sedang dia di selatan. Meski keduanya berada di titik yang berlainan, tapi tetap pada satu poros bumi yang sama. Satu benang merah terulur dan saling kami pegang ujungnya. Benang merah itu adalah musik. Kami sama sama penikmat musik. Dia menggemari K pop sedangkan saya menyukai musik indie. K pop adalah sesuatu yang asing bagi saya dan tak pernah bisa masuk ke deretan playlist saya. Begitu juga sebaliknya. Lagu lagu dalam playlist saya tak akan pernah menjamah telinga kawan saya ini. Tapi beberapa hari belakangan ini kami saling berbagi kisah dan pengalaman dalam menggemari musik.

Disetiap kesempatan ia tak sungkan untuk membagikan postingan yang berkaitan dengan idolanya. Sekumpulan lelaki manis yang tergabung dalam grup boy band kenamaan asal negeri ginseng nan jauh disana telah mengalihkan dunia Ajeng. Bagi saya mereka terlalu lentik untuk digolongkan sebagai lelaki. Tak jarang saya teringat akan tokoh anime Jepang. Mereka bak gambar, perpaduan vektor yang diolah sedemikan rupa sehingga tercipta bentuk wajah yang halus. Saya kerap tak habis pikir. Saya belum pernah meluangkan waktu untuk mendengar musik mereka. Namun jikalau saya ada dalam situasi yang membuat saya bercokol dengan aksi mereka, saya tetap bertahan melihat mereka. Misalnya saja di televisi. Entah mengapa perhatian saya tersedot dengan gerakan lincah para pesonilnya. Aksi dance mereka cukup mengagumkan. Sekitar dua dekade yang lalu, gerakan gerakan lincah enerjik seperti itu juga kerap menghiasi televisi kita. Bedanya siapa yang menari. Dulu, penyanyi dari india lah yang kerap menyita perhatian pemirsa. Bernyanyi sambil menari dengan gerakan kompak. Sungguh kejayaan musik dan film Bollywood sudah tergeser dengan budaya K pop. Mereka mengambil alih semuanya. Dulu musik india dengan tarian, kini musik K pop yang juga dengan tarian. Dulu drama Bollywood, kini drama Korea. Gelombang budaya K pop dengan cepat menyebar dan meraih kepopuleran disetiap penjuru dunia. Buktinya teman saya ini sudah gandrung dengan segala  hal yang berbau Korea. Terutama musik dan kami membicakan soal itu.

Dia tahu saya tak mendengarkan apa yang jadi kesuakaannya. Tapi dia tetap bercerita saja tentang semuanya. Tanpa sungkan dan canggung. Justru itu yang membuat saya merasa senang. Dia bercerita tentang grup musik kesukaannya yang come back dan akan meluncurkan album terbaru. Mereka juga baru muncul dengan teaser album dan merilis sejumlah foto untuk keperluan promosi album baru mereka. Sangat antusias dan gelora fangirling nya cukup dahsyat. Aihh saya malu mengakuinya. Sebetulnya saya juga tengah mengalami hal yang serupa. Jika saya mengetahui beberapa hal atau mendapati sesuatu tentang band yang saya kagumi, pasti saya sangat bersemangat. Untuk kali ini kami dalam keadaan yang sama. Sama sama bersikap kurang wajar. Tapi kami selalu membela diri dan saling memaklumi satu sama lain. Meski jujur saja saya sangat merasa bersalah. Kok kali ini saya jadi begini ya. Jujur selama hidup saya baru kali ini menyukai band sampai ke personilnya sebagai individu. Saya kagum dan sedikit terobsesi.

Lucunya meski kami menyukai hal yang berbeda, dia menyukai boy band yang meski tersemat kata band tapi tidak bermain band, dan saya menyukai band saja ya meski personilnya lelaki semua tapi tak menaruh kata boy di depan kata band. Keduanya berbeda. Musik yang dibawakan apalagi! Tapi terkadang saat kami berbagi cerita ada benang benang yang saling bertautan. Promblematika dalam kehidupan musik K pop yang saya ketahui dari ajeng juga biasa ditemui oleh para musisi yang karyanya kerap saya konsumsi. Soal kreatifitas, bagaimana banyaknya talent yang hanya bermodal tampang, disetir agensi, dan berupaya populer tapi minim prestasi. Tentang perjuangan boy band dengan agensi kecil tapi anggotanya punya segudang prestasi dengan bakat bakatnya yang unik. Mereka benar benar merintis karir dengan perlahan tapi pasti. Membayar lunas mulut mulut yang pernah mencibir mereka. Juga dengan proses berkarya dan cara mereka menghasilkan karya musik. Yang semua itu lahir dari perasaan tiap tiap personilnya. Atau tentang mereka yang selalu totalitas demi performa yang maksimal. Semua itu terasa begitu akrab. Dikehidupan musik yang selama ini saya tahu, kesenjangan antara musik arus utama dan arus pinggiran kerap terjadi. Kalau K pop punya "agensi", selama ini saya kerap dengar "label musik". Ada label ternama dan yang independen. Kadang yang kurang terangkat namanya bukan karena karyanya jelek. Sebetulnya hanya karena kesempatan dan karyanya dianggap tidak menjual (sesuatu yang selalu diantisipasi oleh label terkenal). Padahal musikalitas mereka bisa melampaui yang ada di arus utama.

Pokoknya perbincangan saya dan Ajeng adalah perbincangan lintas selera yang benar benar unik. Saya juga kagum terhadapnya yang menghargai selera saya. Selama ini jarang sekali ada orang disekitar saya mengerti tentang selera musik saya. Tapi Ajeng bisa bersikap baik bahkan cukup antusias menanggapi saya. Meski semua yang saya ceritakan berada diluar apa yang ia sukai. Ini adalah sikap yang seharusnya dipunya penikmat musik. Saling menghormati kegemaran satu sama lain. Sebab, satu hal yang pasti, sebuah karya seni tak ada yang jelek. Semua indah sebab si penciptanya melakukan berbagai hal demi mencapai keindahan sesuai dengan arti indah menurut standarnya. Termasuk musik EDM  yang menurut saya itu ngga jelas dan dimana sih letak bagusnya? Tentu musik edm punya sisi estetis di dalamnya. Hanya saya saja yang belum bisa menemukannya. Semua karya itu bagus dan indah. Tidak suka ya tinggalkan. Kalau suka ya dinikmati tanpa menjelekan yang lainnya. Sesederhana itu kan?

Intinya saya benar benar senang bisa saling bertukar kisah dengan teman. Membicarakan musik dari genre dan latar belakang yang berbeda. Kita tidak layak mencela sesuatu sampai kita mengetahui betul betul seperti apa hal itu. Bagaimana seseorang bisa menilai ini itu yang tak bagus padahal dia belum menyelami lebih dalam dan berusaha cari tahu lebih dulu. Sebetulnya adalah sikap orang pandir, berani mencela tapi tak tahu apa apa. Cobalah memahami dan belajar. Dengan seperti itu kita bisa menjadi lebih bijak dan bisa melihat sisi baik yang tak pernah kita ketahui jika kita tak mencari. Begitulah.

You Might Also Like

0 Comments

BLOG ARCHIVES

TIFANNY'S BOOKSHELF

Harry Potter and the Half-Blood Prince
Angels & Demons
Mati, Bertahun yang Lalu
Le Petit Prince: Pangeran Cilik
Di Kaki Bukit Cibalak
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Orang-orang Proyek
Guru Aini
86
Ranah 3 Warna
The Da Vinci Code
Animal Farm
Hacker Rp. 1.702
Mata Malam
City of Thieves
Yang Fana Adalah Waktu
Kubah
Harry Potter and the Sorcerer's Stone
9 Matahari
Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

• T I F A N N Y •

•  T I F A N N Y  •
INFJ-T ・ semenjana ・ penikmat musik & es kopi susu ・ pencinta fotografi ・ pecandu internet ・ escapist traveller ・ sentimental & melankolis ・ suka buku & aroma petrichor ・ hobi journaling